Qs Al Baqoroh: 26 berikut;
“ Sesungguhnya Alloh tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, Apakah maksud Alloh menjadikan ini untuk perumpamaan?. Dengan perumpaan ini banyak orang yang disesatkan Alloh dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Alloh kecuali orang-orang yang fasik”.
Juga disebutkan di ayat lain yaitu pada Qs Ar Ruum: 58
“ Dan sesungguhnya telah kami buat dalam Al Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan……”
Setelah membaca uraian di atas, tentunya kita merasa takut kalau-kalau kita menjadi orang-orang yang disesatkan dengan perumpamaan itu. Karena itu langkah berikutnya penulis ingin mengajak pembaca untuk mengkaji ulang, memikirkan kembali apakah ibadah-ibadah kita sudah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an yang banyak memuat perumpamaan itu ?
Menurut pendapat penulis, apabila Alloh Swt memerintah dengan bahasa perumpamaan maka apa yang dimaksud dengan perumpaan itu harus kita capai atau kita laksanakan, itu baru ibadah yang akan diterima Alloh Swt. Dan apa bila hanya melakukan perumpamaanya saja jangan-jangan itu termasuk yang disesatkan seperti yang diungkapkan pada Qs Al Baqoroh : 26 tersebut di atas, maka nilai ibadah kita hanya sebatas niat dan itikad baik saja sedangkan yang lainnya mubah, atau bahkan jangan-jangan menjadi dosa karena termasuk kesesatan. Wallohu a’lam.
Untuk memulai mengkaji ulang ibadah-ibadah kita, terlebih dahulu kita harus mencermati referensi yang benjadi dasar petunjuk atau perintah atau isyarat yang mengharuskan kita untuk melakukan suatu ibadah, misalnya saja perintah berwudlu, bagaimana dasar perintahnya, lalu kita cermati apa maksud dari berwudlu itu, apa tujuannya, kemudian harus bagaimana kita melaksanakannya, dan bagaimana pula kita harus melakukan shalat yang benar, dan seterusnya.
Untuk mengetahui hal tersebut kita harus cermati dengan seksama isyarat-isyarat perintahnya atau petunjuknya dari Al Qur’an dan keterangan atau conto-contoh Rosululloh Saw yang tentunya beliau juga akrab dengan perumpamaan-perumpamaan, karena beliaulah yang menyampaikan Al Qur’an yang memuat banyak perumpamaan tersebut. Untuk itu penulis akan mengajukan pemikiran awal tentang beberapa masalah, lalu pembaca ikut memikirkannya sehingga mendapat nilai ibadah ( pahala) dari ijtihad dan kita tidak termasuk yang disesatkan dengan perumpamaan apapun. Amin.
Para ulama mempelajari masalah berwudlu dan hal-hal yang bersangkut paut dengan berwudlu tersebut tentunya dari hadits-hadits Rosululloh Saw, sementara pada hadits-hadits tersebut kadang-kadang terdapat pengungkapan-pengungkapan yang sekilas nampak seperti ada perbedaan atau saling bertolak belakang, sehingga kadang-kadang umat menjadi bingung harus mengikuti yang mana, karena pada akhirnya para ulama memberikan ajaran yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lainnya.
Mungkin sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi karena berawal dari satu sumber yaitu Rosululloh Saw.
Karena hal demikian penulis akhirnya merasa penasaran untuk menelusuri masalah-masalah demikian.
Untuk itu kita lihat sumber perintah berwudlu yaitu Qs Al Maidah : 6
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan lalu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih ); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkanmu itu tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu supaya kamu bersyukur “
Untuk mengambil kesimpulan dalam mengambil pelajaran dan petunjuk dalam ayat tersebut kita harus mempertimbangkan keterangan dari ayat yang telah dipaparkan sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam Al Qur’an itu banyak memuat perumpamaan, maka apakah pada ayat tersebut di atas mengandung unsur perumpamaan atau tidak? Jika dalam ayat tersebut memang ada perumpamaan, lalu untuk apa Alloh Swt membuat perumpamaan itu dan apa yang diumpamakanNya itu. Untuk itu kita lihat Qs Ibrahim: 25
“…..Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat ”.
Kemudian kita lihat kembali Qs Almaidah : 6 di atas, apakah ada kecenderungan kepada perumpamaan atau tidak
“……apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu,……Alloh hendak membersihkan kamu…”
di sini ada kesan sepintas bahwa kata “…hendak membersihkan …” itu berarti membersihkan wujud lahiriah dari anggota tubuh yang dibasuh karena air itu identik dengan cuci-mencuci, akan tetapi kenapa tidak dikatakan “ …maka cucilah mukamu…” dan seterusnya. Kemudian jika tidak ada air, maka sebagai ganti berwudlu diperintahkan bertayamum dengan tanah yang baik, kita tahu bahwa debu tanah tidak punya sifat membersihkan lahiriah dari suatu kotoran, apa lagi cara bertayamum yang hanya menyentuhkan kedua telapak tangan pada tanah kemudian ditepukkan lalu diusapkan atau disapukan pada muka dan lengan, disitu tidak nampak upaya membersihkan lahiriah dari muka dan tangan, sebab apabila hendak membersihkan lahiriah anggota badan yang diusap nampaknya lebih baik yang dipakai sebagai media bertayamum itu lap yang dianggap bersih misalnya. Akan tetapi walaupun demikian tetap saja Alloh Swt mengatakan dalam firmannya “ …hendak membersihkan kamu…”
Selain dari pada itu ada beberapa hadits yang menerangkan berwudlu di mana pada saat membasuh kedua kaki hanya mengusap bagian atas dari kaus kaki yang dikenakan, misalnya
Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Saya pernah bersama Nabi Saw lalu ia berwudlu lantas saya tunduk untuk membukakan dua sarung kakinya, maka sabdanya,” Biarkanlah keduanya karena aku masukkan kedua-duanya di dalam keadaan ( kakiku ) kedua-duanya bersih”, lalu ia usap atas kedua-duanya . ( Mutafak Alaih )
Pada Hadits tersebut dikatakan bahwa kedua kaki Nabi Saw itu bersih, tapi kenapa Nabi Saw mengusap kaus kakinya ?. Maka dengan demikian jelaslah bahwa wudlu bukan upaya membersihkan lahiriah dari anggota badan yang dibasuh. Lalu wudlu yang diisyaratkan Alloh pada Qs Almaidah: 6 tersebut merupakan upaya untuk membersihkan apa jika demikian ?. Untuk mengungkap hal tersebut kita harus melihat keterangan lain, kita lihat hadits berikut:
Dari Umar bin Khaththab, ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw ;
“ Tiadaklah seseorang dari pada kamu berwudlu lalu ia sempurnakan wudlunya kemudian ia berkata, Aku mengaku bahwasannya tidak ada tuhan sembarang Tuhan ( yang layak disembah ) melainkan Alloh sendiriNya, tidak ada sekutu bagiNya dan aku mengaku bahwasannya Muhammad itu hambaNya dan pesuruhNya; melainkan dibukakan baginya pintu-pintu syurga yang delapan yang ia bisa masuk dari yang mana saja ia kehendaki “ ( dikeluarkan oleh Muslim & Tirmidzi ).
Dan Tirmidzi tambahkan,
“ Hai Tuhan jadikanlah aku dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku daripada orang-orang yang bersih ( dari dosa-dosa )”. ( Akan tetapi Tirmidzi katakana bahwa hadits tersebut do’if ) akan tetapi rasanya keterangan tersebut dikuatkan dengan pernyataan Rosululloh dengan hadits di atas, sebab dengan dibukakan pintu-pintu syurga bagi seseorang berarti ia sudah bebas dari segala dosa, juga diperkuat dengan sabda Rosululloh berikut ini.
Rosululloh Saw bersabda :
“ Tidaklah seorang muslim berwudlu dan membaguskan wudlunya kemudian melaksanakan shalat, kecuali Alloh mengampuni dosanya antara shalat ketika itu dan shalat yang selanjutnya “. ( HR Muslim dari Humran Maulana Utsman ).
Dari kedua hadits tersebut di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa perintah membasuh muka, lengan dan sebagainya yang diartikan sebagai berwudlu itu adalah merupakan symbol yang dibuat Alloh Swt. agar manusia selalu mengingatnya bahwa bagian tubuh yang dibasuh adalah anggota badan yang sangat dominan melakukan atau mendukung melakukan perbuatan dosa. Karena itu apa yang dikatakan pada Qs Al Maidah: 6 bahwa “ …Alloh hendak membersihkan kamu…” adalah membersihkan diri dari dosa-dosa, maksudnya Alloh membuat aturan atau perintah itu agar manusia yang beriman bersih dari dosa. Ini sangat sejalan dengan kedua hadits tersebut di atas. Wallohu a’lam.
Dengan mengacu pada keterangan-keterangan tersebut di atas maka kita mendapatkan pelajaran bagaimana kita harus berwudlu dengan benar yang kiranya sesuai dengan yang diharapkan oleh Alloh Swt. dan Rosululloh Saw. Dalam hal ini penulis mendapat pelajaran dengan memahaminya sebagai berikut; Bahwa pada saat berwudlu, pada setiap membasuh anggota tubuh yang harus dibasuh kita harus mengingat-ingat dosa apa yang pernah dilakukan untuk kemudian memohon ampunan kepada Alloh dan bertaubat dengan itikad untuk berusaha tidak mengulangi hal yang sama ( dosa ) sampai shalat berikutnya. Setelah berwudlu kemudian berdo’a memohon dijadikan orang yang bertaubat dan bersih dari dosa-dosa seperti diungkapkan pada hadits tersebut di atas, kemudian shalat, di mana pada salat tersebut kita diwajibkan membaca Al Faatihah yang di dalamnya terdapat do’a;
“ Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus yaitu jalannya orang-orang yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “.
Maka apabila kita sungguh-sungguh melaksanakan makna-makna diatas insya Alloh kita akan mendapatkan jaminan Alloh Swt. yang dicantumkan dalam Qs Al Ankabuut : 45 sebagai berikut ;
“ …sesungguhnya shalat itu mencegah dari ( perbuatan-perbuatan ) keji dan mungkar “.
Sementara itu kesempurnaan shalat tidak tercapai tanpa kesempurnaan wudlu, hal ini tercermin pada sabda Rosululloh Saw dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra :
“… apabila kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudlu, lalu…”
Penulis berharap agar pembaca tidak percaya begitu saja, akan tetapi ikut memikirkan kebenarannya agar kita mendapatkan nilai pahala dari ijtihad dan tergolong orang-orang yang berakal, Amin.
Hal yang membatalkan wudlu
Pembaca yang budiman, apabila pembaca sepakat dan telah berkesimpulan bahwa wudlu adalah upaya membersihkan diri dari dosa dengan bertaubat kepada Alloh Swt. Dan apabila memang hal seperti itulah yang dikehendaki Alloh, maka kita dapat menarik kesimpulan pula bagaimana sifat-sifat atau apa yang dimaksud dengan hal yang membatalkan wudlu, tentunya yang bersifat kebalikan dari tujuan berwudlu yaitu hal-hal yang mengakibatkan dosa.
Sekarang mari kita lihat lagi Qs Al Maidah: 6
“…atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan lalu kamu tidakmemperoleh air maka bertayamumlah……”
Ini mengisyaratkan bahwa buang air dan menyentuh perempuan adalah hal yang membatalkan wudlu dan berarti pula bahwa hal-hal tersebut ada kecenderungan kepada dosa. Dimanakah letek kecenderungannya ?
Mengenai buang air itu bisa menimbulkan dosa dari dua sisi, satu sisi menyangkut air seni atau tinja adalah najis sehingga orang harus hati-hati dengan kedua benda tersebut sehingga tidak mengotori diri sendiri atau orang lain atau mengotori sesuatu milik orang lain atau milik sendiri terlebih sesuatu yang terbawa shalat. Kaitannya dengan hal tersebut Rosululloh Saw pernah bersabda:
Dari Abu Hurairoh ia berkata,“ Telah bersabda Rosululloh Saw, bersucilah dari kencing karena umumnya adzab kubur adalah dengan sebabnya “ diriwayatkan oleh Daraquthni.
Sisi lain adalah cara buang air atau tempat buang airnya bisa menjadi pelanggaran terhadap norma kesopanan jika dilakukan secara sembarangan misalnya dilakukan di tempat terbuka atau tempat-tempat umum, mengingat kedua benda tersebut berbau tidak sedap dan menyangkut aurat atau jenis kelamin, sehingga Rosululloh Saw memperingatkan umat dengan sabdanya sebagai berikut:
Dari Abu Hurairoh ia berkata,” Telah bersabda Rosululloh Saw, jauhilah ( perbuatan ) dua orang yang menyebabkan laknat ( yaitu ) yang buang air di jalan manusia atau di perteduhan mereka. ( HR Muslim ).
Bagaimana halnya dengan kentut ?. Kita tahu kentut tidak mengeluarkan benda najis dan hanya mengeluarkan gas berbau tidak sedap pada umumnya sehingga kita tidak perlu mencuci tempat keluarnya setelahnya sehingga dirasakan kecenderungan dosanya amat kecil, namun jika dilakukan sembarangan misalnya di tempat orang berkerumun atau di dekat orang lain itu termasuk pelanggaran terhadap norma kesopanan sehingga apabila dilakukan dengan sengaja waktu shalat ( di hadapan Alloh Swt ) maka akan dipandang sangat tidak sopan. Karena itu untuk mencegahnya maka kentut membatalkan wudlu, Wallohu a’lam.
Sekarang bagaimana dengan menyentuh perempuan, yang mana dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda karena beda penafsiran kata ” menyetuh perempuan “ ( Qs Al Maidah : 6 ), ada yang menafsirkannya menyentuh biasa dengan tangan atau dengan anggota tubuh lainnya dan ada pula yang menafsirkannya sebagai menyetubuhi perempuan. Perbedaan penfsiran ini dipengaruhi oleh Hadits-hadits yang sifatnya seolah-olah bertentangan dengan kata-kata dari ayat Al Qur’an tadi yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah bersentuhan dengan Aisyah ketika sedang shalat, dan hadits-hadits lain misalnya hadits berikut ini:
Dari Aisyah, sesungguhnya Rosululloh Saw telah menciumnya sedangkan beliau sedang berpuasa, kemudian beliau mengatakan “ sesungguhnya mencium itu tidak membatalkan wudlu dan tidak membatalkan puasa “ Diriwayatkan oleh Ishak bin Rahaiwah dan dikeluarkan pula oleh Al Bazzar dengan sanad yang shahih.
Imam Asy Syafii mengatakan bahwa apabila hadits tersebut shahih maka beliau berpendapat tidak ada wudlu karena mencium wanita atau menyentuhnya. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat imam Asy Syafi’I tersebut dengan syarat tambahan menjadi tidak ada wudlu karena mencium atau menyentuh wanita yang menjadi istri sendiri, dan tentunya harus berwudlu apabila menyentuh wanita lain mengingat esensi berwudlu tadi adalah membersihkan diri dari dosa, sementara menyentuh atau menyentuhkan diri pada wanita bukan muhrim ada kecenderungan mendekatkan diri pada zina dan itu adalah dosa.
Jadi kesimpulannya menyentuh atau menyentuhkan diri pada wanita atau sebaliknya wanita kepada laki-laki ( bukan tersentuh atau bersentuhan yang tidak sengaja ) adalah membatalkan wudlu kecuali pada suami atau istri, dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Al Qur’an dan perilaku-perilaku Nabi Saw, wallohu a’lam
Berikutnya ada dua buah hadits tentang hal yang membatalkan wudlu yakni tentang menyentuh dzakar dimana jika kita pahami sepintas nampak seperti berlawanan di antara keduanya, lalu para ulama menyimpulkan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudlu, akan tetapi dianjurkan berwudlu kalau mau. Untuk lebih jelasnya kita lihat kedua hadits berikut :
Dari Busrah bin Shofwan, sesungguhnya Rosululloh pernah bersabda, “ Siapa yang menyentuh dzakarnya hendaklah ia berwudlu “ ( diriwayatkan oleh Lima Imam dan dinyatakan shahih oleh At Turmidzi dan Ibnu Hibban ). Menurut Al Bukhari hadits ini adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini. ( Sublu Al-Salam I )
Dan masih ada hadits-hadits lain yang senada. Sementara itu hadits yang nampak seperti bertentangan dengan hadits di atas adalah hadits dari Thalak Bin Ali ra berikut ini;
Dari Thalak bin Ali, ia berkata, “Telah berkata seorang laki-laki ; Aku menyentuh dzakarku, atau ia ( rawi ) berkata bahwa seorang laki-laki menyentuh dzakarnya pada waktu shalat. Apakah ia harus berwudlu ?, lalu Nabi bersabda, “ Tidak! Sesungguhnya dzakar itu bagian dari tubuhmu “. Diriwayatkan oleh Lima Imam dan dinyatakan shahih ole Ibnu Hibban dan menurut Ibnu Al Madani hadits ini lebih baik dari pada hadits Busrah. ( Bulughu Al Maram I ).
Dikatakan bahwa kedua hadits tersebut adalah shahih, sementara pernyataannya sepintas nampak bertentangan, tapi jika kita pikirkan rasa-rasanya kecil kemungkinan jika Rosululloh berpendirian plin-plan atau berubah-ubah, atau membuat pernyataan yang sifatnya sembarangan . Jadi menurut penulis hanya satu kemungkinan yang mungkin terjadi pada kedua hadits yang nampaknya bertentangan tersebut yaitu kedua hadits tersebut dimaksudkan untuk membatasi dua kondisi yang berbeda walaupun predikatnya sama yakni menyentuh dzakar.
Dengan cara pandang demikian akan nampak bahwa kedua hadits tersebut tidaklah bertentangan, dengan memahami kedua hadits tersebut sebagai berikut;
Hadits pertama dari Busrah ra adalah pernyataan secara umum, dan hadits kedua dari Thalaq bin Ali ra merupakan penjelasan yang bersifat pengecualian, sehingga sabda Rosululloh tersebut seolah-olah begini ;
“ Barang siapa menyentuh dzakar/kemaluan hendaklah ia berwudlu, kecuali menyentuh dzakar/kemaluan karena ada keperluan tertentu, misalnya ada gatal, sakit, atau ada binatang kecil, yang mengganggu khusyunya shalat.”
Sementara, Rosululloh Saw mengatakan bahwa dzakar itu hanyalah sepotong daging milikmu, nampaknya mengisyaratkan bahwa batalnya menyentuh dzakar itu bukan karena najis atau kotor dan lain-lain.
Maka, rasanya tepat apabila persoalan tersebut dibahas dengan prinsip bahwa hal yang membatalkan wudlu adalah hal yang akan menimbulkan dosa, dimana dosa yang mungkin ditimbulkan oleh dzakar adalah nafsu sex yang tidak terkendali (zina) dan itu harus dijaga, seperti diisyaratkan pada firman Alloh dalam Qs Al Mu’minun: 1-7
“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas “.
Dalam ayat lain ada menerangkan bahwa Alloh Swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Penulis melihat pada hadits yang kedua di atas tampak kebijaksanaan dan kehati-hatian Rosululloh Saw dalam menyampaikan ajaran, karena nampaknya yang hendak dilarang atau dibatasi adalah iseng-iseng atau sembarangan menyentuh atau mempermainkan dzakar atau alat kemaluan, lalu dikhawatirkan terangsang dan mengumbar sembarangan nafsu kemaluannya atau syahwatnya sehingga “ mencari yang di balik itu “ seperti yang disebutkan pada ayat-ayat Al Qur’an di atas. Sementara Rosululloh Saw ada kemungkinan memandang pada saat orang habis berwudlu dan dalam keadaan shalat atau segera akan melaksanakan shalat tidak mungkin melakukan macam-macam atau iseng-iseng mempermainkan dzakar dan memikirkan sex, akan tetapi Rosululloh justru lebih cenderung memperkirakan orang tersebut menyentuh dzakar karena ada keperluan tertentu seperti telah disebutkan di atas, wallohu a’lam.
Masih menanggapi isyarat perintah Alloh dalam Qs Al Maaidah : 6
“ …..dan jika junub maka mandilah…..”
Apabila Alloh Swt hendak membersihkan lahiriah ( tubuh ) kita, rasanya itu tidak beralasan, misalnya hanya karena keluar mani saja akan tetapi kita diharuskan mandi hingga mengguyur kepala dengan air tiga kali, apa maksud dari semua itu ? padahal jika dicuci saja pada kemaluannya dan daerah yang terkena mani tersebut hingga bersih maka bereslah sudah. Rosululloh tidak menerangkan secara detail dan Alloh Swt mengharapkan hal-hal tersebut menjadi pelajaran bagi manusia. Apabila kita melihat susunan kata-kata Qs Al Maaidah : 6 tersebut, kata-kata “ ……jika kamu junub ……” itu ditempatkan setelah menerangkan berwudlu yang mana sifat dari wudlu tersebut hanya membasuh beberapa bagian tubuh dengan air, sementara jika junub harus mandi. Dengan gaya bahasa klimaks, ini memberikan kesan bahwa junub lebih besar masalahnya dari hal-hal yang membatalkan wudlu.
Jadi isayarat apa yang dimaksud Alloh Swt apabila mandi karena junub ini dianggap suatu isyarat yang bersifat perumpamaan ? Di atas dikatakan bahwa jika mandi junub itu untuk membersihkan lahiriah anggota tubuh itu tidak beralasan, maka kemungkinan lain itu bisa berarti merupakan upaya membersihkan diri dari dosa yang berhubungan erat dengan penyebab junub yaitu mengumbar syahwat ( zina ). Junub adalah puncaknya syahwat, maka dengan gaya bahasa klimaks tadi mengisyaratkan yang mengundang syahwat yaitu menyentuh dzakar dengan iseng-iseng, dan menyentuh perempuan selain istri dan bukan muhrim harus wudlu ( ini termasuk dosa kecil ) sedangkan sebagai puncaknya syahwat yakni junub maka harus mandi karena penyebab junub dapat menimbulkan dorongan imajinasi yang kuat bagi manusia pada kecenderungan berbuat zina ( ini termasuk dosa besar ), jadi wudlu dan mandi junub ini adalah perumpamaan dari Alloh Swt untuk mengingatkan manusia dari dosa – dosa, dan Alloh Swt mengharapkan agar manusia bersih dari dosa-dosa tersebut, wallohu a‘lam.
Senada dengan kajian di atas, Alloh Swt berfirman :
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “ Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. .
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “ Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang ( biasa ) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan ( terhadap wanita ), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan……”. ( Qs An Nuur : 30-31 ) .
Kita kembali pada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa perumpamaan dalam Al Qur’an adalah untuk manusia agar selalu ingat, maka sikap kita dalam keseharian harus selalu ingat untuk selalu menjaga anggota tubuh yang dibasuh waktu berwudlu jangan sampai melakukan atau mendukung untuk melakukan perbuatan dosa dari satu shalat sampai salat berikutnya. Juga harus diingat hal-hal apa yang membatalkan wudlu, karena hal tersebut menyangkut dosa juga.
Dan Alloh memberikan isyarat yang istimewa dengan syahwat, sebab kenyataannya bisa kita lihat bahwa nafsu syahwat merupakan tantangan hasrat yang berat dalam kehidupan manusia, sehingga tidak sedikit orang terjerumus ke dalam lembah kenistaan, hina, dan dosa karena mengumbar nafsu syahwatnya. Akan tetapi Alloh Swt memberikan jaminan bahwa hal itu tidak akan terjadi kepada orang-orang yang beriman selama mereka mengikuti petunjuknya dan tentunya tahu dan mengerti maksud dan makna petunjuk tersebut sehingga tidak salah dan sesat dalam mengamalkannya. Mudah-mudahan kita selalu ditunjukkan pada jalan yang lurus dan bukan jalan yang sesat, amin.
No comments:
Post a Comment