Bacaan Al Fatihah bagi ma’mum
Seringkali kita alami hal atau kejadian yang kalau kita perhatikan nampaknya akan membuat kita penasaran kenapa hal demikian bisa terjadi, lalu jika kita pikirkan nampaknya hal tersebut adalah keberadaan yang mustahil akan kebenarannya atau yakin bahwa keberadaan tersebut adalah salah.
Kejadian dimaksud adalah begini, sewaktu shalat berjamaah di suatu mesjid umum ( bukan mesjid golongan tertentu ) di mana shalat itu adalah shalat jahr, pada saat imam selesai membaca Al Fatihah lalu imam membaca surat-surat pendek Al Qur’an, pada saat itu ada sebagian ma’mum membaca Al Fatihah dengan sir atau berbisik-bisik, sedangkan ma’mum lain diam, tidak mambaca apa-apa dan hanya mendengarkan bacaan-bacaan imam, sementara itu pemahaman mereka yang diam tidak membaca apa-apa pada saat imam membaca Al Fatihah dan surat dengan jahr, mereka tidak membenarkan jika ma’mum membaca Al Fatihah, dan begitu pula sebaliknya. Jika dipikirkan maka perbedaan tersebut mestinya tidak terjadi sebab awal dari tata cara shalat berasal dari satu orang yaitu Rosululloh Saw. Namun jika ditelusuri kepada akar permasalahannya ternyata yang menjadi sebab adalah karena telah terjadi perbedaan pemahaman dari keterangan-keterangan yang dipelajari mereka ( para ahli terdahulu dan para imam ) kemudian sebagian para ahli dan pengikutnya saling mengklaim bahwa pemahamannyalah yang benar, kemudian mereka saling meninggalkan mereka-mereka yang berbeda pemahaman, maka terjadilah pengelompokan umat atas dasar perbedaan pemahaman ajaran Islam, sehingga pendirian masing-masing mesjid kadang-kadang menjadi symbol pengelompokan mereka. Seharusnya umat Islam merasa khawatir atas keadaan tersebut jangan-jangan termasuk kondisi yang diperingatkan Alloh Swt. dalam firmanNya, Qs Ali Imron : 103 sebagai berikut.
“ Dan berpeganglah kamu semua kepada tali ( agama ) Alloh dan janganlah kamu bercerai- berai. Dan ingatlah akan nikmat Alloh ketika kamu dahulu ( masa jahiliyah ) bermusuh-musuhan……”
Qs. Ali Imron : 105.
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat “
Perbedaan praktek shalat yang disertai dengan paham bahwa yang satu benar dan yang lain tidak benar adalah kondisi yang tidak mungkin benar sebab pada awalnya shalat diajarkan oleh satu orang yaitu Rosululloh Saw. Akan tetapi untuk menentukan paham mana yang benar di antara ajaran-ajaran yang berbeda tersebut tidak dapat dilakukan jika kita tidak menelaah sumber-sumber keterangannya. Oleh karena itu untuk memecahkan masalah perbedaan pendapat harus selalu dikaji ulang dengan menelaah Al Qur’an dan Hadits-hadits shahih. Sementara itu perdebatan-perdebatan yang terjadi diantara umat seringkali menggunakan pendapat para imam sebagai dalih atau refferensi.
Untuk bahan kajian dalam kasus perbedaan tata cara berma’mum pada saat imam membaca dengan jahr, mari kita lihat bagai mana para ahli pendahulu memahami keterangan-keterangan tentang hal tersebut.
Beberapa sabda Rosululloh Saw.
1.a.
“ Tidak sah shalat orang yang tidak membaca di dalamnya Fatihata’l kitab ( Al Fatihah )……” ( H.R. Al Bukhari, Muslim, Abu’Uwanah dan Al Baihaqi }
b.
“ Tidak akan diberi pahala shalat orang yang tidak membaca Fatihata’l kitab di dalamnya “ ( Daqraquthni,dishahihkan olehnya dan Ibnu Hibban di dalam shahih Ibnu Hibban ).
c.
“ Barang siapa yang melakukan suatu shalat yang di dalamnya ia tidak membaca Fatihata’I kitab maka shalat itu kurang, shalat itu kurang, tidak sempurna “ ( H.R Muslim dan Abu ‘Uwanah ).
Dengan keterangan-keterangan ini semua ulama setuju bahwa dalam segala shalat wajib membaca Al Fatihah pada setiap rakaatnya. Akan tetapi dalam hal shalat berjamaah di mana shalat itu shalat jahr, maka dalam hal ini timbul perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban membaca Al Fatihah itu di tanggung oleh imam, sehingga ma’mum tidak perlu membaca Al Fatihah, sementara ulama lain berpendapat bahwa baik imam maupun ma’mum sama-sama wajib membacanya sehingga terjadilah perbedaan paham diantara umat sebagaimana sering kita temui diantara kita, tentunya masing-masing mempunyai dasar argumentasi sebagai mana diungkapkan di bawah ini,
Sebenarnya pada awalnya dalam hal ini terdapat tiga kelompok perbedaan paham.
Paham pertama.
Bahwa ma’mum membaca Al Fatihah dan surat Al Qur’an bersama imam ketika imam membaca dengan sirr, atau membaca Al Fatihah jika tidak mendengar bacaan imam pada shalat jahr, namun ma’mum diam ( tidak membaca Al Fatihah maupun Al Qur’an ) ketika mendengar imam membaca dengan jahr. Paham ini berasal dari pahamnya imam Maliki, yang kemudian diikuti oleh ulama Indonesia dari kalangan Islam Persatuan.
Paham kedua.
Ma’mum membaca Al Fatihah dan surat Al Qur’an ketika imam membaca dengan sirr dan membaca Al Fatihah saja ketika imam membaca dengan jahr. Paham ini berasal dari pahamnya imam As Syafi’i yang kemudian diikuti oleh ulama NU.
Paham ketiga.
Ma’mum tidak membaca apa-apa apakah imam membaca dengan sirr atau pun jahr. Akan tetapi paham ini tidak terkenal di Indonesia.
Adapun keterangan-keterangan yang mengakibatkan mereka berbeda pemahaman itu adalah sebagai berikut.
Keterangan-keterangan yang dipegangi oleh paham pertama:
2.a. Firman Alloh Swt.
“ Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” ( QS Al Araf:204 )
b. Rosululloh Saw bersabda:
“ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya.“ ( Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Uwanah dan Ahmad ).
c. Riwayat dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya sesudah rosululloh Saw selesai dari suatu shalat yang beliau baca denngan nyaring lalu beliau bersabda, “ Adakah siapa-siapa di antara kamu baca bersama-sama aku tadi?” maka jawab seseorang, “ Ya, ya Rosululloh!” maka Rosululloh bersabda, “ Aku mau bertanya, mengapa aku dilawan baca Qur’an?” Kata Abu Hurairah, sesudah itu berhenti orang-orang daripada membaca bersama Rosululloh Saw di sembahyang yang Rosululloh baca dengan nyaring ketika mereka dengar yang demikian itu dari Rosululloh Saw. ( R.Abu Daud, Nasa’i, Turmudzi dan ia berkata hadits itu baik dan diriwayatkan pula oleh Malik di Mu’wath tha dan oleh Syafi’i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).
d. Riwayat dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya Rosululloh Saw telah bersabda, “ Dijadikan imam tidak lain melainkan untuk di turut dia, karena itu kalau ia takbir hendaklah kamu takbir dan apabila baca qiraat hendaklah kamu dengarkan” ( R Lima Imam, lihat Bulughul Maram, kecuali Turmudzi dan dishahihkan oleh Muslim ).
Sedangkan paham kedua memakai keterangan-keterangan berikut:
Hadits-hadits di atas ( keterangan 1a, b, c ) yang menerangkan bahwa wajibmembaca Al Fatihah dalam segala shalat.
3.a.Dalam shalat fajar beliau membacakan qira’at lalu berat baginya untuk membacanya. Maka tatkala selesai shalat beliau bersabda, “ Jangan-jangan kalian membaca qira’at di belakang imam kamu?” Kami berkata, “ Benar dengan cepat-cepat, wahai Rosululloh “. Beliau bersabda, “ Jangan kalian kerjakan, kecuali jika diantara kalian membaca Fatihata’l Kitab, karena sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak membacanya”. ( Al Bari dalam Juj’ul Qira’ah, Abu Daud dan Ahmad dan dihasankan oleh Turmudzi dan Daraquthni )
b. Sabda Rosululloh Saw:
“…jangan kamu baca sesuatu dari pada Qur’an apabila aku baca keras melainkan Ummul Qur’an “. ( R. Abu Daud, Nasa’I, Daraquthni dan ia berkata, rawi-rawinya orang-orang yang dipercaya ).
c.Dan dari hadits-hadits lain yang senada.
Dengan keterangan-keterangan di atas yang menurut mereka ( para ahli pendahulu ) saling bertentangan itu, masing-masing paham saling mempertahankan pendapatnya dan berupaya mencari-cari pembenaran paham, bahkan ada kesan saling mencari-cari kelemahan keterangan lain.
Setelah ditelaah, keterangan-keterangan tersebut di atas dan keterangan lainnya rasa-rasanya tidak terdapat pertentangan, justru kesemuanya itu merupakan keterangan-keterangan yang saling melengkapi, di mana setiap sabda Rosululloh Saw itu mempunyai arah penekanan pada maksud tertentu. Sementara ini keterangan-keterangan di atas dipahami sebagai berikut:
Dari keterangan 1dipahami bahwa setiap orang, imam dan ma’mum setiap shalat wajib membaca Al Fatihah, tidak ada shalat atau rakaat tanpa bacaan Al Fatihah.
Dari keterangan 2a dipahami dengan jelas bahwa jika dibacakan Al Qur’an sangat dianjurkan atau wajib untuk mendengarkan dan memperhatikannya dalam keadaan apa saja dalam lingkup keleluasaan kesempatan dan keleluasaan waktu, ( tidak termasuk wajib bagi orang yang sedang sangat sibuk bekerja dengan penuh konsentrasi atau melakukan kegiatan lain yang bermanfaat, karena memang tidak pantas membacakan Al Qur’an kepada mereka ). Dalam shalat, jika imam membaca Al Qur’an maka ma’mum menjadi wajib hukumnya untuk mendengarkannya, karena maksud daripada imam membacakan Al Qur’an tersebut adalah untuk diperdengarkan kepada ma’mum, bukan untuk diperdengarkan kepada Alloh Swt, sebagai mana disabdakan Rosululloh Saw pada Hadits keterangan 2b, “ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adaqlah bacaan baginya”. Untuk Hadits ini dipahami begini, dengan dibacakannya Al Qur’an oleh imam maksudnya seolah-olah imam memberikan peringatan, petunjuk, pelajaran atau nasihat dan lain-lain kepada ma’mum dengan ayat-ayat Alloh ( Al Qur’an ) dan bukan berarti imam mewakili ma’mum berdo’a kepada Alloh Swt. Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh surat Al Qur’an berikut ini.
Qs Al Maa’uun
1. Tahukah kamu ( orang ) yang memndustakan agama.
2 Itulah orang yang menghardik anak yatim
3 Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
4 Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.
5 ( Yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
6 Orang-orang yang berbuat riya.
7 Dan enggan ( menolong dengan ) barang yang berguna ( zakat ).
Kita bisa lihat bahwa surat Al Maa’uun bukanlah do’a kepada Alloh Swt, akan tetapi merupakan pelajaran dan peringatan dari Alloh Swt kepada manusia, karena itu jika seorang imam dalam shalatnya membaca surat tersebut berarti imam tersebut sedang memberikan pelajaran dan peringatan kepada ma’mumnya dengan kalimat-kalimat Alloh tersebut, dan solah-olah imam itu menggantikan tugas Rosululloh untuk menyampaikan ayat-ayat Al Qur’an kepada umat. Oleh karena itu amat tepat jika kemudian Rosululloh Saw mensyaratkan agar yang menjadi imam itu adalah orang yang paling bisa membaca Al Qur’an, sebagaimana disabdakan Rosululloh Saw pada hadits berikut ;
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw,” Mengimami kaum itu ( hendaknya ) orang yang lebih bisa membaca ( banyak menghapal ) Kitabulloh Ta’ala, jika mereka sama tentang bacaan, maka yang lebih mengetahui sunnah, lika mereka sama tentang sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah, jika mereka sama tentang hijrah, maka yang lebih dahulu Islam…” ( HR. Muslim ).
Dan karena itu pula maka shalat berjamaah amat dianjurkan dengan jaminan 27 derajat pahala, wallohu a’lam.
Di atas dikatakan bahwa jika imam membaca Al Qur’an berarti seolah-olah imam tersebut memberikan pelajaran, atau peringatan, atau petunjuk, dan lain-lain kepada ma,mumnya, karena itu ma,mum wajib mendengarkannya, dan sangat tidak masuk akal jika kemudian ma,mum membaca Al Qur’an yang sama atau membaca bacaan lain. Oleh sebab itu pada Hadits keterangan 2a kepada orang yang sama-sama membacca Al Qur’an bersama Rosululloh ( imam ), Rosululloh menegurnya dengan sabdanya, “ Aku mau bertanya, mengapa aku dilawan baca Qur’an ? “ Sabda Rosululloh itu nampaknya begini “ Aku yang memperingatkan kamu dengan Qur’an, kenapa kamu balik melawan dengan memperingatkan aku dengan Qur’an juga ?” Wallohu a’lam.
Para ahli piqih pendahulu banyak yang memahami keterangan 2 c dan 2 d di atas dengan kesimpulan bahwa ma’mum wajib mendengarkan apa-apa yang dibaca imam dengan nyaring yaitu Al Fatihah dan Surat Al Qur’an dengan tidak mempertimbangkan keterangan 1a, b, dan c yang menyatakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Bahkan juga menolak hadits-hadits senada yang menyatakan bahwa jika imam membaca qira’at dengan nyaring wajib didengarkan kecuali Al Fatihah ( Fatihata’l Kitab )
Adapun alasan mereka menolak keterangan-keterangan tersebut karena memandang bahwa itu bertentangan dengan Al Qur’an surat Al A’raf : 204 yang berbunyi “ Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik…” dan kedudukan hukum ayat ini tentunya lebih kuat dibandingkan hadits-hadits tersebut. Dan ayat itu dianggap amat sesuai dengan hadits-hadits keterangan 2 c dan 2 d, pendek kata mereka mempertentangkan keterangan-keterangan tersebut.
Di sini kita coba untuk tidak mempertentangkan keterangan-keterangan tersebut dengan memahaminya sebagai berikut :
Kita ketahui bahwa yang dibaca imam dengan jahr itu ada 2 bacaan yaitu Al Fatihah dan surat Al Qur’an. Pada keterangan-keterangan 1a,b, dan c telah dikatakan bahwa setiap orang wajib membaca Al Fatihah dalam shalatnya, dan mungkin ini sudah sering dibicarakan oleh Rosululloh Saw sehingga dengan keterangan 2 c dan 2 d itu Rosululloh Saw nampaknya hendak menekankan bahwa yang harus didengarkan ma’mum ( dan tidak boleh dibaca ) itu adalah surat-surat Al Qur’an lain karena dianggapnya umat sudah tahu bahwa membaca Al Fatihah itu wajib bagi siapa saja, maka dari itu Rosululloh Saw menjelaskan lebih detail atau lebih rinci dengan hadits keterangan 3 a dan 3 b yang menerangkan bahwa jangan membaca Al Qur’an apapun jika imam membaca Qur’an dengan keras atau nyaring kecuali Fatihata’l Kitab atau Umul Qur’an.
Nampaknya para ahli pendahulu kurang jeli dalam mengamati kalimat pada keterangan 3 a dan 3 b ini, dimana sebenarnya dengan keterangan tersebut Rosululloh Saw mengisyaratkan bahwa Al Fatihah dengan surat-surat Qur’an yang lain adalah dua hal yang berbeda, atau Al Fatihah adalah surat yang dikecualikan dari Qur’an, wallohu a’lam. Lalu kenapa Al Fatihah ini dibedekan dari Al Qur’an, mari kita lihat dan kita bahas perbedaannya .
Qs. Al Fatihah,
Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang menguasai hari pembalasan.
Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
( Yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, dan bukan ( jalan ) mereka yang dimurkai, dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat.
Jika kita amati surat Al Fatihah di atas, nampaklah bahwa ayat-ayat atau kalimat-kalimat itu seperti layaknya kata-kata manusia kepada Alloh Swt, padahal Al Qur’an sendiri diberikan dari Alloh kepada manusia. Nampaknya Alloh Sengaja menurunkan surat Al Fatihah ini agar manusia memuji, mengagungkan dan berdo’a kepada Alloh dengan kalimat sempurna sebelum membaca, mendengarkan, atau mempelajari Al Qur’an baik di waktu shalat maupun bukan waktu shalat.
Kemudian kita lihat surat-surat Al Qur’an lainnya dan kita bandingkan setiap kalimatnya dengan Al Fatihah,
Qs Al Baqarah : 2 & 3
“ Kitab ( Al Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, ( yaitu ) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
Qs Al Kautsar : 1-3
1. Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2.Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah ( di jalan Alloh ).
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus (dari rahmat Alloh ).
Dengan membandingkan kata demi kata pada ayat-ayat di atas dengan ayat-ayat Al Fatihah nampak sekali perbedaannya karena ayat-ayat Al Qur’an tersebut jelas sekali merupakan petunjuk, perintah dan peringatan dari Alloh Swt kepada manusia. Jadi perbedaan inilah nampaknya yang menjadi alasan mengapa Rosululloh membedakan atau mengecualikan Al Fatihah dari Al Qur’an atau surat-surat lainnya.
Sepertinya bukan hanya Rosululloh Saw saja yang membedakan atau mengecualikan Al Fatihah dengan Al Qur’an melainkan Alloh Swt pun membedakan di antara keduanya, hal ini difirmankan Alloh pada surat Al Hijr : 87,
“ Dan sesungguhnya kami teleh berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ( Al Fatihah ) dan Al Qur’an yang agung.”
Dengan mengatakan, “ ……tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Qur’an yang agung “ yang jika kita ilustrasikan dengan rumus, misalnya dikatakan, kita jumlahkan x dan y , maka nilai x dan nilai y adalah berbeda, atau sama dengan mengatakan “ diberikan kepadamu gula merah dan gula pasir kepadamu “ maka jelas berbeda antara keduanya meskipun sama-sama gula. Agar tidak meragukan mari kita coba menterjemaahkan ayat tersebut dengan ayat Al Qur’an lain dan dengan hadits shahih. Di atas telah dikatakan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk ( lihat Qs Al Baqarah : 2 & 3 ). Kemudian di ayat lain dikatakan bahwa Al Qur’an adalah pelajaran, misalnya yang tercantum pada Qs Al Qamar : 17,22, 32, dan 40 ).
“ Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?”
Dan masih banyak ayat yang menjelaskan bahwa Al Qur’an adalah pelajaran, atau petunjuk, atau pemberi peringatan. Sementara Rosululloh Saw menjelaskan dengan firman Alloh Swt apa itu Al Fatihah, kita lihat hadits dari Abu Hurairoh berikut ;
“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “ Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).
Jelas sekali bahwa Al Fatihah bukanlah pelajaran atau petunjuk atau peringatan kepada manusia melainkan puja dan puji serta permohonan kepada Alloh Swt. walaupun redaksinya diberikan oleh Alloh kepada Rosululloh Saw.
Dan kita lihat hadits berikut yang pernyataannya amat mirip dengan Al Qur’an surat Al Hijr : 87 tersebut di atas. Dan menurut Al Baji hadits ini menerangkan ayat tersebut.
“ Belum pernah Alloh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia menurunkan di dalam At Taurat dan tidak pula di dalam Al Injil semacam Ummu’l Qur’an, yaitu As Sab’u’l Matsani ( tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ) dan Al Qur’anu’l ‘Azhim ( Al Qur’an yang agung ) yang diberikan kepadaku. ( An Nasa’I dan Al Hakim serta dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi ).
Dengan demikian jelaslah bahwa Alloh Swt pun membedakan antara Al Fatihah dengan Al Qur’an atau surat-surat lainnya dalam kitab Al Qur’an tersebut, sehingga perintah Alloh Swt pada Qs Al Araf : 204 yang memerintahkan agar mendengarkan dan memperhatikan jika dibacakan Al Qur’an itu maksudnya jika dibacakan surat-surat dari mulai surat Al Baqarah sampai surat akhir dari kitab Al Qur’an yakni surat An Naas. Dalam shalat, Al Fatihah bukan wajib didengar dan diperhatikan melainkan wajib dibaca sesuai sabda-sabda Rosululloh Saw. Pada keterangan 1.a, b, dan c, dan 3.a, dan b .
Dalam buku soal jawab tentang Islam yang disusun oleh A Hasan seorang yang ditokohkan Islam Persatuan mempertanyakan, kapan waktunya jika ma’mum wajib membaca Al Fatihah dikala imam membaca dengan jahr atau nyaring, sebab jika imam membaca surat Qur’an dengan nyaring lalu ma’mum membaca Al Fatihah itu adalah salah, pendapat itu benar sekali, itu sesuai dengan perintah Qs Al Araf : 204. Akan tetapi untuk menentukan waktu membaca Al Fatihah bagi ma’mum ketika shalat jahr, dengan merujuk pada keterangan-keterangan dan pemahaman di atas, maka dapat kita tentukan dengan memahami isyarat dari sabda Rosululloh Saw berikut ini :
Riwayat dari Abu Hurairah :
Sesungguhnya Rosululloh Saw telah bersabda,” Dijadikan Imam tiada lain, melainkan untuk diturut dia. Karena itu kalau ia takbir hendaklah kamu takbir, dan apabila ia baca Qira’at ( Al Qur’an ) hendaklah kamu dengarkan. ( R. Lima imam kecuali At Turmudzi dan dishahihkan oleh Muslim ).
Nampaknya hadits ini disabdakan untuk menekankan bahwa ada perilaku khusus dalam tata cara shalat mengikuti imam pada shalat jahr, yaitu pada saat imam membaca Qira’at ( Al Qur’an ) ma’mum bukan menuruti atau mengikuti imam sebagaimana gerakan lain yang harus diturut melainkan harus mendengarkan bacaan imam tersebut ( Al Qur’an ). Dalam hadits tersebut Al Fatihah tidak disebutkan karena nampaknya dianggap bahwa umat sudah tahu akan kewajiban membacanya untuk semua orang ( imam dan ma’mum ) sebagaimana gerakan-gerakan lain yang tidak disebutkan yakni gerakan-gerakan yang harus diturut yaitu Al Fatihah, ruku’, bangun dari ruku’, sujud, dll.
Karana Al Fatihah itu wajib juga dibaca ma’mum, maka dalam melakukannya ma’mum membacanya bersama-sama mengikuti atau mengiringi imam di dalam hatinya atau dengan sirr karena imam itu untuk diturut, kecuali jika imam membaca Al Qur’an ( dari Qs Al Baqarah – An Naas ).
Karena Al Fatihah itu ayat-ayat puja, puji, dan do’a kepada Alloh Swt, maka jika imam dan ma’mum bersama-sama membacapun tidak akan dikatakan bahwa ma’mum melawan imam sebagaimana sabda Nabi Saw pada hadits keterangan 2.c karena kedua belah pihak sama-sama memuji, dan berdo’a kepada Alloh Swt, tidak seperti imam yang membaca Al Qur’an yang di tujukan kepada atau untuk ma’mum.
Nampaknya Al Fatihah dibaca jahr itu dimaksudkan untuk memandu seluruh ma’mum agar pada saat imam membaca Al Qur’an, semua ma’mum sudah benar- benar siap mendengarkannya dan tidak sampai terjadi ada ma’mum yang masih membaca Al Fatihah, wallohu a’lam.
Marilah kita lihat keterangan berikut ini
Beliau selesai dari suatu shalat yang didalamnya beliau mengeraskan Qira’at ( di dalam riwayat disebutkan bahwa salat itu shalat shubuh ), kemudian beliau bersabda,“Apakah diantara kamu ada yang membaca Qira’at bersamaku tadi ? “ seorang laki-laki berkata,” Benar, aku wahai Rosululloh “. Beliau bersabda,” Sesungguhnya aku mengatakan bahwa aku tidak menyelang-nyelangi di dalam Qira’at.” ( dalam hal ini ada yang mengartikan menyelang-nyelangi dan menimpalinya )…..dst. ( Malik dan Al Hamidi, Al Bukhari dalam Juz’ul Qira’at, Abu Daud dan Al Mahamili, dihasankan oleh Turmudzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim ).
Dari hadits di atas nampak bahwa dalam membaca Qira’at ( Al Qur’ an ), Rosululloh Saw tidak menyelang-nyelangi untuk tidak memberi kesempatan diikuti atau ditimpali oleh ma’mum. Sementara dalam membaca Al Fatihah sebuah hadits menerangkan sebagai berikut ;
Kemudian Rosululloh Saw membaca Al Fatihah dan memotongnya ayat demi ayat,
Bismillahir rohmaanir rihiim.
Kemudian berhenti, lalu membaca,
Alhamdu lillahirobbil ‘aalamiin.
Kemudian berhenti, lalu membaca,
Arrohmaanir rohiim.
Kemudian berhenti, lalu mengucapkan,
Maaliki yaumid diin, dan seterusnya.
( Abu Daud dan As Sahmi dan diriwayatkan oleh Abu Umar Ad Dani ).
Dengan cara membaca seperti itu mungkin mungkin Rosululloh Saw memberi kesempatan kepada ma’mum agar dapat mengatur tempo untuk mengiringi, mengikuti atau menimpali imam membaca Al Fatihah tersebut, wallohu a’lam.
Masih dalam kaitannya membaca Al Fatihah bagi ma’mum, sebenarnya masih ada beberapa hadits yang dianggap bertentangan, akan tetapi kemudian dinyatakan lemah oleh sebagian ahli fiqih, diantaranya hadits berikut ini ;
Sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda, “ Tiap-tiap sembahyang yang tidak dibaca padanya Umul Qur’an maka ia itu tidak sempurna, melainkan kalau di belakang imam “. ( R Khallal ).
Seandainya hadits ini benarpun tidak perlu dipertentangkan dalam memahaminya sebab bisa jadi sabda ini ditujukan untuk menekankan kepada orang yang belum bisa atau belum fasih dalam membaca Al Fatihah agar selalu shalat berjamaah untuk mendapatkan atau mencapai shalat yang syah dan tidak khawatir tidak diterima shalatnya, justru malah bisa belajar dengan mengikuti imam. Atau jika benar pula ada kemungkinan sabda tersebut untuk memberi jaminan syahnya shalat atau rakaat tanpa Al Fatihah bagi ma’mum yang masbuk yang tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam atau mengiringi imam, karenanya tidak perlu memaksakan untuk membaca Al Fatihah jika memang sudah terlewat kesempatan untuk membacanya sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban lain misalnya kewajiban untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an.
Dalam hal ini dapat diambil sebagai rujukan dari sebuah keterangan sbb;
“ Apabila seseorang di antara kamu datang untuk shalat sewaktu kami sujud, maka hendaklah kamu sujud dan jangan kamu hitung itu satu rakaat, dan barang siapa yang mendapati ruku’ bersama imam, maka ia telah mendapati satu rakaat “ ( Riwayat Abu Daud ).
Jadi, bagi orang yang sudah hafal atau bisa membaca Al Fatihah dan tepat pada kesempatannya yakni menuruti atau menimpali imam maka ia wajib membacanya. Ini menunjukkan bahwa Alloh Swt dan Rosululloh Saw tidak hendak menyulitkan umatnya, Wallohu a’lam.
Sekilas keterangan-keterangan beserta pemahaman-pemahaman tersebut di atas menjadi tampak bertolak belakang atau bertentangan, sebab satu sesi berkesimpulan bahwa membaca Al Fatihah itu wajib di setiap raka’at, tapi di sesi berikutnya berkesimpulan boleh terlewat dengan alasan tertentu, sehingga timbul pertenyaan apa maksud wajib di situ ?, untuk itu mari kita telaah makna Al Fatihah di sub judul yang lalu.
No comments:
Post a Comment