Translate

Wednesday, 2 April 2025

ULAMA ADALAH PEWARIS PARA NABI

( HR Abu Daud ) 

    Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin Musarhad] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Daud] aku mendengar ['Ashim bin Raja bin Haiwah] menceritakan dari [Daud bin Jamil] dari [Katsir bin Qais] ia berkata, "Aku pernah duduk bersama Abu Ad Darda di masjid Damaskus, lalu datanglah seorang laki-laki kepadanya dan berkata, "Wahai Abu Ad Darda, sesungguhnya aku datang kepadamu dari kota Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena sebuah hadits yang sampai kepadaku bahwa engkau meriwayatannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidaklah aku datang kecuali untuk itu." Abu Ad Darda lalu berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Wazir Ad Dimasyqi] telah menceritakan kepada kami [Al Walid] ia berkata; aku berjumpa dengan [Syabib bin Syaibah] lalu ia menceritakannya kepadaku dari [Utsman bin Abu Saudah] dari [Abu Ad Darda] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan maknanya."

 

    Dari rangkaian kalimat pada hadits ini ada kalimat yang sering dikutip oleh para penceramah untuk mengagungkan para ulama yakni kalimat; “ Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. “ Jadi yang diberi gelar Ulama itu orang yang diberi Ilmu dan tugas menyampaikan dari Alloh (melalui Nabi) kepada ummat.

Pesan warisan dari para nabi itu adalah,

Dan dia ( Nuh berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui" (Huud ;29)

Mereka itulah orang-orang ( para Nabi ) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. ( Al an am: 90 )

Hai kaumku, aku( Huud ) tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidak kah kamu memikirkan(nya)?" ( QS Huud:51 )

Dan aku ( Nabi Shaleh ) sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 145 ) Dan aku ( Nabi Lut ) sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 164 ) Dan aku ( Nabi Syu’aib ) sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 180 ) jika yang diwariskan kepada para ulama itu hanya ilmu, maka cukuplah dikatakan bahwa ulama adalah pewaris Nabi Muhammad Saw. karena ilmunya Nabi-nabi sebelumnya sudah disempurnakan oleh Rosululloh Saw. dan ilmu dari Nabi Muhammad Saw. itulah (Islam ) yang harus dianut seluruh umat manusia, akan tetapi dengan memperhatikan rentetan Ayat Al Qur;an di atas ada penugasan yang sama untuk para Nabi yaitu, menyeru manusia dengan ilmunya untuk menganut agama Tauhid dengan tidak meminta imbalan dari ummat yang diseru itu.. Jadi para nabi itu memiliki warisan yang sama untuk para ulama berupa amanat atau tugas dari Alloh Swt, agar menyampaikan ajaran tauhid serta mengajak/ menyeru beriman kepada Alloh dengan tidak mengharapkan imbalan dari umatnya. Dan agar penyebaran Islam itu lancar dan pesat serta Ikhlas dan berkah dan menjamin agar para ulama memelihara amanat yang hendak diwariskan kepada para ulama, maka ummatnya diberi arahan agar mengikuti orang yang tidak meminta balasan atas seruan untuk mengikuti Islam "Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." ( QS Yaasiin 21 ) Jadi jika ada ulama, ustadz, kyai, ustadzah dll. yang mengharap atau meminta imbalan dari berceramah sebaiknya tidak diikuti karena sebenarnya mereka adalah orang yang tidak mendapat petunjuk. Dan ini nyata, penceramah model demikian sering melontarkan paham-paham munafik. Paham-paham pesanan karena terikat dengan pemberian uang atau materi. Wallohu’alam. Akan tetapi dengan merujuk keterangan berikut di bawah ini, ada Sebagian ulama memperbo- lehkan mengambil upah dari membaca Al Qur’an, Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata ‘Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’ Para sahabat pun menjawab ‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.’ lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan kambing. Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah.’ Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: ‘Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku’.” (HR Bukhari) Dalam beberapa redaksi hadits yang lain, Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat: “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah” (HR Bukhari). Menanggapi hadits di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya: “Berdasarkan hadits ini, dapat ditarik pemahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai ganti atas bacaan mantra berupa Surat Al-Fatihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut) bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata: ‘Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah’. Dalil ini merupakan paling kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh). Sedangkan hadits; “Bacalah Al-Qur’an, jangan menjadikannya kering, jangan menjadikannya mahal dan jangan (mencari) makan dengan Al-Qur’an” adalah hadits yang lemah, sanadnya terputus. Jika dikira-kirakan keshahhihan hadits tersebut, maka sesungguhnya hadits yang telah aku jelaskan di atas lebih shahih dan lebih kuat, sebab terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari Muslim), sedangkan hadits ini terdapat dalam kitab Musnad Ahmad, sedangkan kitab musnad tidak tertentu (mencantumkan) hadits shahih saja, tapi di dalamnya juga terdapat hadits yang lemah, seperti halnya keterangan yang telah diketahui” (Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari, al-Hawi fial-Fatawi al-Ghumari, hal. 36) Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kajian lintas mazhab, ulama mazhab Hanafi berpandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa mengambil dan memberi upah atas bacaan Al-Qur’an merupakan hal yang terlarang bahkan tergolong sebagai perbuatan yang mengakibatkan dosa. Berbeda halnya menurut mazhab yang lain yang notabene memperbolehkan hal di atas. Perbedaan pendapat ini secara sistematis disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: “Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan adanya imbalan dan hal tersebut tidak mengakibatkan wujudnya pahala, orang yang mengambil dan memberi upah sama-sama terkena dosa. Realita yang terjadi pada masa kita berupa membaca Al-Qur’an di sisi kubur dan di tempat umum merupakan hal yang tidak diperbolehkan secara syara’. Akad ijarah (Menyewa jasa) atas bacaan Al-Qur’an merupakan hal yang batal dan hukum asal dari akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an adalah tidak diperbolehkan. Dari isyarat-isyarat pemikiran itu penulis punya pandangan bahwa mengajar membaca Al Qur’an boleh mendapatkan upah karena itu merupakan ilmu dunia, ilmu kemampuan baca, sama artinya belajar baca huruf Arab, yang benar dan salahnya akan nampak jelas, sementara menyampaikan ajaran dan pemahaman Al Qur’an ataupun sunnah Nabi Saw. itu tidak boleh mengharapkan imbalan ( sikap warisan para Nabi ) karena itu ilmunya Alloh yang benar salahnya memahami menjadi tanggung jawab setiap diri pribadi. Nah, banyak ustadz dan Ulama sekarang dengan ilmu yang minimal ingin dianggap pewaris para Nabi dengan ceramah atau dakwah untuk mendapatkan uang, bahkan sampai ditarif jika diundang ceramah. Coba kita bayangkan jika ternyata yang disampaikan dalam ceramahnya adalah ilmu bid’ah atau ilmu dengan pemahaman yang salah misalnya. Apalagi dibumbui doktrin “ jangan ikuti pendapat si X karena gurunya tidak jelas, jangan ikuti paham kelompok Y “ padahal mereka yang menerangkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. misalnya yang tidak mustahil pada mereka itu ada ilmu yang benar yang mengoreksi kesalahan ilmunya dia. Jika seperti itu bisa jadi dosa- dosa umat yang mengamalkan ilmu yang salah dan tidak diperbaiki karena mengikuti seruan ulama itu akan menjadi dosa ulama itu sendiri, rugi sekali itu. Wallohu ‘alam Semoga bermanfaat.

Tuesday, 17 September 2024

Penafsiran QS Al Waaqiah : 77 - 80

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْ,
 ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ ٱللَّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ 

اِنَّهٗ لَـقُرۡاٰنٌ كَرِيۡمٌۙ‏ ٧٧
sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, ( Al Waaqi’ah : 77 )

فِىۡ كِتٰبٍ مَّكۡنُوۡنٍۙ‏ ٧٨
pada kitab yang terpelihara (Lauhul mahfuz), ( Al Waaqi’ah : 78 )

لَّا يَمَسُّهٗۤ اِلَّا الۡمُطَهَّرُوۡنَؕ‏ ٧٩
tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan ( Al Waaqi’ah : 79 )

تَنۡزِيۡلٌ مِّنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِيۡنَ‏ ٨٠
Diturunkan dari Tuhan semesta alam. ( Al Waaqi’ah : 80 )

Rangkaian kalimat-kalimat dari ayat-ayat QS Al Waaqi’ah di atas ini cukup rumit dipahami sehingga para ulamapun dalam menafsirkannya berbeda-beda.

Pertama , di ayat 77 dan 78 dikatakan bahwa Al Qur’an itu tersimpan dalam “kitab yang terpelihara” padahal Ketika jaman Nabi Saw. Al Qur’an belum berupa kitab, sehingga ditafsirkanlah di (Lauhul mahfuz), padahal di ayat 80 dikatakan “Diturunkan dari Tuhan semesta alam.” Berarti sudah berada di sisi Nabi Muhammad Saw. ( karena kalimat-kalimatnya seolah-olah Al Qur’an itu sudah diturunkan secara komplit kepada Rosululloh Saw )


Kedua, di ayat 79 dinyatakan “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Inipun ditafsirkan bermacam-macam oleh para ulama.
Dalam keadaan seperti ini penulis merasa mendapatkan tantangan untuk turut mencoba menafsir kanya.

Penafsiran penulis begini;
Ayat 77 dikatakan bacaan yang sangat mulia, karena Al Qur’an sangat berfaedah bagi kehidupan manusia secara lahir, bathin, dunia dan akhirat, dan terjaga kemurniannya.

Ayat 78 mengisyaratkan bahwa Al Qur’an bakal menjadi berupa kitab dan terpelihara kemurniannya, sementara ayat-ayat tersebut akan jadi pedoman dan dibaca manusia sepanjang masa, sehingga kini hal itu terbukti menjadi suatu kalimat yang nyata, Al Qur’an sebagai pedoman Islam dalam kitab dan terpelihara kemurniannya hingga kini.

Ayat 79; “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan “. Di sini disebutkan tidak menyentuhnya bukan tidak boleh menyentuh. Yang disucikan, bukan yang bersuci ( berwudlu ).
Maka penulis menafsirkan, hanya hamba-hamba yang Alloh sucikan yang bisa menyentuhnya (secara qolbiyah), maksudnya hamba Alloh yang disucikan itu akan berhasrat, mudah membaca dan mudah memahami, dan merasakan harus mengamalkan Al Qur’an. Lalu bagaimana Alloh mensucikan hambanya ?. Setidaknya, Alloh akan jaga hambanya dari melakukan dosa besar, sementara dosa-dosa kecil akan terhapus dengan solat 5 waktu, solat Jum’at, puasa ramadhan, dzikir, dll.  

Dapat penulis rasakan, seandainya penulis pernah berzina, rasanya tidak akan muncul Hasrat untuk mengkaji ulang kejanggalan-kejanggalan ajaran Islam. Sementara itu penulis pernah berada di suatu posisi, situasi dan kondisi 2 atau 3 langkah menuju zina tapi itu tidak terjadi, dan dapat penulis rasakan bahwa itu bukan kuasa atau kemampuan penulis menghindarinya. 
Wallohu’alam
Semoga bermanfaat