Translate

Saturday, 7 March 2015

Apa maksud dan tujuannya “ Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Al Fatihah” ? Dan kenapa ikut sujud bersama imam dapat 1 rakaat?



          Yang mengetahui alasannya secara pasti hanyalah Rosululloh Saw. dan Alloh Swt.  tapi mari kita coba amati, kita kaji dan kita pelajari sebatas kemampuan kita, semoga Alloh Swt menunjukinya kepada jalan yang lurus, barangkali akan mengandung hikmah dan kebenaran buat kita sekalian.
          Untuk membantu mengetahui alasan Rosululloh Saw. mewajibkan membaca Al Fatihah dalam setiap sholat akan dapat dipahami dengan menyimak postingan tahun-tahun yang lalu berjudul Makna Nama-nama Al Fatihah. Intinya, dengan diwajibkannya umat membaca Al Fatihah dalam setiap sholat, itu adalah merupakan strategi agar tidak sampai terjadi umat tidak memohon petunjuk kepada Alloh Swt. dengan membaca Al Fatihah sebelum membaca dan mendengarkan Al Qur’an. Jadi wajib baca Al Fatihah itu utamanya adalah sebagai persiapan untuk membaca dan mendengarkan surat-surat Al Qur’an ( dari Al Baqoroh sampai An Naas ) yang dianjurkan untuk membacanya bagi orang yang memiliki hafalannya. Karena itu jika kesempatan membaca dan mendengarkan Al Qur’an terlewat, maka kewajiban baca Al Fatihah itupun gugur ( diampuni ). Akan tetapi pada kesempatannya dalam setiap sholat tetap wajib membaca Al Fatihah apakah akan membaca Al Qur’an ataupun tidak. Wallohu ’alam.
         Sementara itu, kenapa dari ruku’ bersama imam hingga sujud kedua dalam suatu rakaat sudah dianggap cukup sebagai 1 rakaat sholat?

Kita lihat kembali hadits berikut:

“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).
           Bahwa intinya dari sholat manusia kepada Alloh Swt. itu adalah apa yang terkandung di dalam hadits tersebut yaitu memuja, memuji, dan memuliakan Alloh, serta permohonan hamba kepada Alloh Swt. sedangkan membaca Al Qur’an bukan memuja, memuji, mengagungkan dan memuliakan Alloh Swt. dan bukan pula permintaan atau permohonan manusia kepada Alloh Swt. jadi ketika umat dalam sholat membaca Al Qur’an, maka umat tersebut bukan sedang memperdengarkannya kepada Alloh Swt. melainkan kepada manusia termasuk kepada diri sendiri atau kepada mahluk lain, jika imam maka ia memperdengarkan Al Qur’an kepada makmum ( ingat hadits “ … sesungguhnya bacaan imam adalah bacaan bagi makmum…), artinya bacaan Al Qur’an ( Al Baqoroh – An Naas ) imam ditujukan kepada Makmum. 
          Maka dari itu kiranya sudah dianggap mencukupi bagi Alloh sholatnya seseorang yang masbuk dengan membaca Bismillah…, Allohu akbar, terus bacaan ruku’, bacaan I’tidal, bacaan sujud, baca Robbigh firlii warhamnii…, bacaan sujud lagi, apalagi jika dalam raka’at tersebut membaca tasyahud. Tapi tidak demikian halnya bagi makmum yang pada situasi dan kondisi normal, baca Al Fatihah tetap wajib.
 Wallohu a‘lam.




Monday, 12 January 2015

Mendapatkan ruku’ bersama imam, mendapatkan 1 raka’at

          Hampir dalam setiap pendirian shalat berjamaah di setiap mesjid terdapat makmum yang hadir ketika imam dan jamaah sudah shalat lewat beberapa waktu, beberapa bacaan dan beberapa gerakan( terlambat ). Dalam hal mengikuti imam dalam keadaan masbuk demikian Rosululloh Saw menetapkan aturan-aturan tertentu, yaitu :

Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”.   ( H.R Al-Jama’ah, Fathul Bari  ) 

           Jika dalam suatu sholat berjamaah tertinggal 1 rakaat dari sholat imam, maka harus ditambah 1 rakaat setelah imam salam, jika tertinggal 2 rakaat dari sholat imam, maka harus ditambah 2 rakaat setelah imam salam dan seterusnya, hal seperti ini sudah dipahami oleh umat secara sepakat.
          Akan tetapi dalam hal menentukan batasan minimal mendapatkan satu ( 1 ) rakaat bersama imam, maka dalam hal ini terdapat 2 paham pendapat.
           Paham pertama berpendapat, bahwa makmum sudah dianggap tertinggal 1 rakaat dari imam apabila tidak sempat membaca Al Fatihah, dengan alasan beberapa hadits yang menerangkan tidak sahnya shalat jika tidak membaca Al Fatihah, di antaranya, hadits berikut;

Dari Ubadah bin Shamit, dia mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur'an (Al-Fatihah)." (HR Muslim) 

          Sementara paham ke dua berpendapat bahwa walaupun tertinggal membaca Al Fatihah akan tetapi masih sempat ruku’ bersama imam, maka ia masih mendapatkan rakaat tersebut, dengan alasan hadits berikut;

Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat 1 raka’at tersebut)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir ). 

Dalam riwayat Daraquthni yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban (diterangkan): “siapa yang mendapatkan ruku’ dari shalat sebelum imam menegakkan tulang rusuknya (bangkit dari ruku’), maka ia berarti mendapatkan satu rakaat” (Masail al-muhimmah:37) 

          Paham pertama meragukan kesahihan hadits-hadits tersebut dengan alasan logis bahwa hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih yang menerangkan tidak sahnya shalat jika tidak membaca Al Fatihah dengan disertai hasil pengamatan jalur-jalur para perawinya. 
             Bahkan mereka menyanggah pendapat paham kedua dengan mengemukakan hadits shahih berikut;

Sesungguhnya Abu Bakrah datang ketika Rasul sedang ruku’, lalu ia ruku’ diluar shaf kemudian berjalan (dalam keadaan ruku’) menuju shaf. Ketika nabi Selesai salatnya beliau bersabda, “Siapa diantara kalian yang ruku’ diluar shaf kemudian berjalan (dalam keadaan ruku’) menuju shaf? Maka Abu Bakrah berkata “saya”. Kemudian Nabi bersabda “mudah-mudahan Allah menambah semangatmu, dan janganlah kamu mengulangi (amal seperti itu)” (HR.Al Jamaah, dan redaksi ini riwayat Abu Daud). 

          Dengan dikatakannya “…….dan janganlah kamu mengulangi (amal seperti itu)” pada hadits tersebut maka paham pertama berpendapat seolah-olah jangan mengulangi untuk mendapatkan satu rakaat dengan mengejar ruku’nya imam. 
            Pabahal yang dilarangnya itu adalah ruku’ diluar shaf sebagaimana dijelaskan di hadits berikut:

Nabi bersabda “Apabila seseorang diantara kamu mendatangi shalat (berjamaah), maka jangan ruku’ diluar shaf, hingga menempati tempatnya pada shaf itu”. (HR. Ath-Thahawi, syarh ma’anil Atsar) 

           Menurut pemikiran penulis hadits Abu Bakrah yang ruku’ di luar shaf tersebut bukannya melemahkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan makmum mendapatkan ruku’ bersama imam mendapat 1 rakaat sholat, tapi justru memperkuat hadits Abu Hurairah tersebut, karena dengan berusahanya Abu Bakrah ruku’ sambil berjalan tersebut berarti beliau sudah mengetahui keterangan bahwa mendapatkan ruku’ bersama imam akan mendapat 1 rakaat sholat sehingga beliau berusaha memanfaatkannya ketika itu.

           Perhatikan pula pendapat Umar ra. Dalam sebuah riwayat berikut.

Bahwasannya seseorang lupa membaca Al Qur’an ketika shalat. Kemudian kejadian itu diadukan kepada Umar. Lalu Umar menanyakan, “ Bagaimana dengan ruku’ dan sujudnya ? “ Jawabnya “ sempurna “ . Kata Umar ( selanjutnya ) “ jika demikian keadaannya, maka tidaklah mengapa”. 

          Besar kemungkinannya bahwa pendapat Umar ra. Dalam riwayat tersebut berdasarkan pengetahuan yang sama sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah tersebut di atas. Dengan demikian maka yakinlah bahwa hadits yang menyatakan “ …… barang siapa yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat 1 raka’at." itu adalah shahih ( sudah banyak diketahui umat waktu itu ).
          Setelah yakin bahwa hadits yang menerangkan "Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur'an (Al-Fatihah)." Dan hadits yang nenerangkan “… barang siapa yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat 1 raka’at tersebut” itu keduanya shahih, maka logika yang berkesimpulan bahwa kedua hal tersebut bertentangan dan salah satunya harus digugurkan, maka itu harus dihentikan sebab logika itu pasti salah karena tidak boleh terjadi logika kita sampai menggugurkan fatwa Rosululloh Saw, maka lakukan saja apa sabda Rosululloh Saw tersebut.
          Jika kita penasaran maka kita harus berusaha mencari tahu bagaimana logika Rosululloh Saw dalam hal ini. Semestinya memang harus kita ketahui apa yang menjadi alasan Rosululloh Saw. sehingga mengemukakan batasan-batasan sholat tersebut karena bisa jadi hal-hal tersebut bersangkut-paut dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang memang harus kita ketahui. Jadi harus diungkap alasan Rosululloh Saw. apa maksud dan tujuannya aturan “ tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur'an (Al-Fatihah)." Dan kenapa dari ruku’ bersama imam hingga sujud kedua dalam satu rakaat sudah dianggap cukup sebagai 1 rakaat?

Jawabannya lain kali, semoga bermanfaat, amiin.

Saturday, 6 December 2014

KEKOSONGAN SHAF DALAM SHOLAT



Dari Anas r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Rapatkanlah shaf-shaf kamu semua, perdekatkanlah jarak antara shaf-shaf itu -yang sekiranya antara kedua shaf itu kira-kira tiga hasta- dan samakanlah letaknya antara leher-leher. Maka demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya saya niscayalah dapat melihat syaitan itu masuk di sela-sela kekosongan shaf, sebagaimana halnya kambing kecil." hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad menurut syarat Imam Muslim.
Pada keterangan lain dikatakan bahwa iblis akan menggoda manusia dari berbagai arah, dari depan, dari belakang, dari kiri, dan dari kanan. Coba lihat ayat berikut, “Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). “ ( Qs Al A’raaf 16- 17 ), Tapi ketika nampaknya kekosongan shaf dalam jamaah sholat, syaitan begitu semangat seperti mendapatkan kesempatan bagus untuk menggoda manusia agar lalai dari sholatnya. 
Tapi memang pada kondisi tersebut syaitan mendapatkan sasaran empuk untuk menggoda pikiran manusia dari konsentrasi sholatnya. Bayangkan saja jika tiba-tiba ada tambahan makmum yang berdiri di samping kita dengan mengosongkan jarak sekitar untuk satu orang. Maka ketika itu akan muncul di sebagian pikiran kita persangkaan-persangkaan macam-macam, dari mulai sangkaan apakah ia sedang membenci kita, apakah badan kita terciun bau tidak enak sehingga ia enggan dekat dengan kita, atau bahkan saling bertahan tidak saling mengalah untuk saling mendekat, dan lain-lain, demikian juga pikiran makmum yang melihat dibelakangnya, maka berarti lalailah kita dari konsentrasi shalatnya.
Karena itu jangan kosongkan shaf sehingga terkesan anda menjauhi jamaah di sampingnya. Atau jika melihat orang lain mengosongkan shaf, maka janganlah pikiran kita terpengaruh dengan kondisi tersebut tapi tetaplah perhatikan apa yang sedang diucapkan kepadaNya, atau perhatikan ayat yang dibacakan imam. Wallohu’alam 

Wednesday, 15 October 2014

UMAT ISLAM HARUS MEMILIH PEMIMPIN

            Di bawah dituliskan beberapa kriteria pokok seorang pemimpin bagi umat Islam. Para elit muslim hendaknya melihat sejarah pemilihan pemimpin pada pemilu beberapa periode  yang lalu. Kita ingat bagaimana paniknya umat Islam ketika Ibu Megawati menjadi kandidat kuat sebagai bakal presiden dulu. ( karena umat Islam tidak menghendaki perempuan menjadi pemimpinnya ) , yang akhirnya dengan strategi darurat jadilah Bpk Abd. Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Mohon maaf, itu pun rasanya bukanlah merupakan simbol kemenangan umat Islam, karena terbukti pemerintahannya hanya berlangsung setengah masa jabatan.
Kemudian  di masa pemilu berikutnya juga amat memprihatinkan bagi politik umat Islam dengan kemenangan partai Demokrat dan Bpk SBY nya. 
Kemudian kita ingat pula bagaimana resahnya elit muslim saat menjelang kemenangan pasangan Jokowi dan Ahok sebagai calon pemimpin DKI.
           Pendapat saya, semua itu terjadi karena partai yang telah memecah belah umat Islam dalam memperjuangkan tampilnya sosok pemimpin dari tokoh Islam
Kita tentunya berharap di masa yang akan datang akan terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Akan tetapi sudah barang tentu untuk memperbaiki kondisi demikian diperlukan cara dan usaha yang tepat. Rasa-rasanya amat mudah kita bayangkan bahwa syarat utamanya untuk mencapai tujuan itu adalah mempersatukan tekad umat Islam untuk mewujudkan visi dan misi nya. Jadi terbentuknya satu kepemimpinan umat Islam akan menjadi jaminan untuk terwujudnya keinginan tersebut.
Seandainya kita tidak perdulikan bagaimana para tokoh partai sedang dimabuk tipu daya syaithon, dengan berlomba-lomba mengejar jabatan. jika mau rasanya ada jalan lain bagi umat islam untuk mengusahakan terbentuknya satu kepemimpinan umat Islam.
Kita punya wadah pemersatu umat Islam yaitu MUI, maka kita dapat menjadikan ketua MUI sebagai satu-satunya pemimpin umat Islam di Indonesia,  semua umat Islam harus patuh pada fatwanya, jangan benyak berpikir macam-macam, kecuali jika fatwanya menyimpang secara nyata dari Al Qur'an dan Hadits.
Umat harus selalu minta fatwanya dalam melaksanakan ibadah-ibadah masal. 
Jika hal ini terjadi insya Alloh perubahan kearah yang lebih baik dari beberapa hal akan dapat kita capai. Ke depannya umat Islam bisa saja mengusung ketua MUI menjadi calon presiden, amin.

 Kriteria pemimpin

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.( Al Maidah ayat 51).

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Qs An Nisaa : 58
( di antara manusia artinya termasuk kepada non muslim )

Nabi dan Rosul adalah pemimpin bagi umatnya, jadi kita bisa mengadopsi sifat-sifat mereka sebagai kriteria dalam memilih pemimpin. Minimal ada empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan). Wallohu 'alam

 Semoga ada manfaatnya, amin.

Wednesday, 6 August 2014

PERBEDAAN PAHAM MEMBACA AL QUR'AN



            Pada hari minggu tgi 3-8-2014 kebetulan penulis sempat memperhatikan ceramah islam di salah satu siaran Televisi, di mana dalam kesempatan tersebut penceramah mengungkapkan bahwa telah beredar suatu pemahaman baru bahwa membaca Al Qur’an dengan tidak mengerti  apa yang dibacanya merupakan amalan yang percuma, atau tidak bermanfaat, kira-kira begitu. Dan beliau berkomentar bahwa itu tidak benar, dan menyebut-nyebut dengan nada humor seolah-olah paham tersebut di munculkan oleh nabi baru, sehingga menimbulkan kesan bahwa pemahaman tersebut sudah pasti sesatnya, sayang sekali, kenapa tidak menganjurkan agar umat membandingkan paham ini dasarnya apa, dan paham itu dasarnya apa, walaupun beliau berhak menjelaskan pahamnya sejelas-jelasnya. Bahkan ( mohon maaf ) se-jenius apapun ulama  ada baiknya ia mempelajari terlebih dahulu setiap paham baru yang muncul sebelum menolaknya dan memfatwakannya, tapi penulis kira penceramah tersebut sudah melakukannya, dan mungkin saja paham baru tersebut memang salah. Tapi agar perbedaan tersebut menjadi rahmat, penulis coba untuk turut mambahas kembali mengenai dasar keterangan yang beliau pakai sebagai bahan penolakan paham baru tersebut.
          Adapun keterangan yang beliau ungkapkan sebagai dasar penolakan terhadap paham yang dianggap baru tersebut adalah sebuah hadits berikut,
“ Barang siapa yang membaca satu huruf  dari kitab Alloh, maka ia telah mendapatkan satu kebaikan dengannya. Dan kebaikan itu dibalas dengan sepuluh yang semisalnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif - Laam- Miim itu satu huruf, tetapi aku mengatakan bahwa Alif itu satu huruf, Laam satu huruf, dan Miim satu huruf. “ ( Turmudzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih ).
Beliau berargumentasi bahwa  dengan keterangan tersebut berarti membaca Al Qur’an tetap mendapat pahala/ kebaikan walaupun tidak mengerti apa yang dibacanya karena tidak ada orang yang mengerti arti dari huruf Alif - Laam- Miim tersebut.
Sementara keterangan yang mengharuskan mengerti apa-apa yang dibaca dari Al Qur’an agar Al Qur’an menjadi kitab yang bermanfaat adalah sbb;
“ Demikianlah kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Umul Quro ( penduduk-penduduk mekah ) dan penduduk negeri- negeri sekelilingnya “.  (  Qs Asy Syuura: 7 )

“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya).( QS Az Zuukhruf : 3 )

“ Sesungguhnya kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran “   ( QS Ad Dukhaan : 58 )

Agar Al Qur’an menjadi peringatan atau menjadi pelajaran dan dipahami maka mutlak harus mengerti ketika membacanya.

Rosululloh Saw menyuruh kepada umatnya agar membaca Al Qur’an itu harus dapat dipahami isinya sebagaimana diungkapkan pada hadits-hadits brikut ini :

“ Bacalah Al Qur’an di dalam setiap bulan “ Ibnu Amr berkata “ Aku mengataklan bahwa aku mempunyai kekuatan “ Beliau bersabda. “ Bacalah ia ( Al Qur’an ) di dalam dua puluh malam “   Ibnu Amr berkata “ Aku mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan “ Beliau bersabda. “ Bacalah ia ( Al Qur’an ) di dalam tujuh malam dan jangan lebih sedikit dari pada itu“. ( HR Bukhari & Muslim ).

Berikutnya hadits lain dengan sabdanya kepada Ibnu Amr:

“ Barang siapa yang membaca (  seluruh )  Al Qur’an lebih sedikit dari pada tiga malam maka ia belum memahaminya “(  HR Ahmad dengan sanad yang shahih ).
Dari keterangan-keterangan tersebut di atas mengisyaratkan bahwa membaca Al Qur’an itu jangan terlalu cepat sehingga tidak memahami isinya. Bagi muslim Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab, walaupun membaca dengan tartil dan bahkan dibaguskan suaranya maka kondisinya akan tidak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih parah dibandingkan  dengan kondisi  Ibnu Amr, yakni tidak mengerti sama sekali apa yang dibacanya, apakah Al Qur’an akan menjadi peringatan atau menjadi pelajaran jika demikian?.
Kita lihat sabda Rosululloh Saw kepada Ibnu Amr yang memiliki semangat dan waktu luang untuk membaca Al Qur’an dengan cepat-cepat tapi tidak memperlihatkan minat untuk memahami isinya;

“ Sesungguhnya setiap hamba itu mempunyai semangat yang kuat, dan setiap semangat yang kuat itu mempunyai waktu senggang, baik kepada sunnah maupun kepada bid’ah. Barang siapa yang senggangnya itu ( menuju ) kepada sunnah maka sesungguhnya ia telah mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang senggangnya itu ( menuju ) kepada selain itu , maka sesungguhnya ia telah hancur. ( HR Ahmad dan Ibnu Hibban di dalam shahih Ibnu Hibban )

Penulis kira dalam menentukan sebuah hukum jangan hanya merujuk kepada tafsiran dari satu keterangan saja, sementara beberapa keterangan yang jelas malah diabaikan. Dengan memandang semua keterangan di atas, maka pemahaman penulis adalah sebagai berikut;
Hadits Turmudzi dan Ibnu Majah tersebut merupakan ilustrasi perhitungan imbalan Alloh Swt kepada orang yang membaca Al Qur’an dengan niat dan semangat mendapatkan petunjuk sebagaimana tercantum dalam Fatihatul Kitab “  Tunjukilah kami jalan yang lurus “.
            Jika dikatakan bahwa tidak ada orang yang tahu artinya dari susunan huruf Alif - Laam- Miim nampaknya ini perlu pengkajian lebih jauh. Menurut pemikiran penulis jika Alloh Swt tidak menerangkan arti dari susunan huruf tersebut apakah dalam Al Qur’an atau oleh Rosululloh Saw, maka berarti susunan huruf tersebut memang tidak ada artinya, maka janganlah kemudian mereka-reka susunan huruf Alif - Laam - Miim tersebut menjadi sebuah arti tertentu. Jadi tidak bisa dikatakan tidak tahu artinya jika memang itu tidak ada artinya.
            Sementara ini ( sebelum penulis menemukan keterangan dari Al Qur’an atau dari hadits ) penulis berpendapat dan berimajinasi bahwa susunan huruf Alif - Laam - Miim tersebut dan yang lainnya yang sejenis adalah sebagai hiasan kata untuk memperindah sastra Al Qur’an yang luar biasa, wallohu  ‘alam. Jadi, membaca Al Qur'an dan terjemahnya itu harus, jika tidak mengerti bahasa Al Qur,an secara langsung. Semoga bahasan ini bukan bahasan yang menyesatkan, aamiin.