Translate

Wednesday, 2 June 2010

Bacaan Al Qur’an dalam Shalat


Ada rasa penasaran penulis, kenapa bacaan-bacaan Al Qur’an yang sifatnya peringatan, pelajaran, petunjuk, bahkan perintah dari Alloh Swt. kepada manusia, justru dibaca kembali secara utuh pada saat menghadap dan berkata-kata kepada Alloh Swt. ( saat shalat ) terutama pada waktu shalat sirr, sehingga terkesan bacaan-bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh Swt. Maka proses yang terjadi pada orang yang sedang shalat sirr dengan membaca Al Qur’an itu seolah-olah orang tersebut sedang memberikan pelajaran, peringatan, petunjuk, bahkan perintah kepada Alloh Swt dengan firman Alloh itu sendiri. Akan tetapi apakah yang diajarkan Rosululloh Saw. itu benar demikian ?. Oleh karena itu marilah kita lihat sumber-sumber keterangannya.   
1.      Hadits dari Abu Hurairah.

“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

2.      Hadits shahih dari Abu Hurairah.
Sesungguhnya seorang lelaki memasuki mesjid kemudian shalat. Selanjutnya ia menghadap dan memberi salam kepada  Rosululloh Saw, dan Nabi pun membalas salamnya. ( Lalu ) Nabi bersabda, “ Kembalilah dan kerjakanlah shalat karena kamu belum mengerjakan shalat.” Ia pun mengerjakan shalat lagi dan kembali menghadap. Rosululloh pun memerintahkannya untuk kembali berbuat seperti itu tiga kali. Selanjutnya seorang laki-laki tersebut mengatakan, “ Demi Alloh yang mengutusmu dengan seluruh kebenaran bahwa aku tidak mampu lagi mengerjakan yang lain.” Jawab Rosululloh Saw,” Apabila kamu hendak menjalankan shalat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap kiblat lalu bacalah takbir ( takbirotul ihram ) lalu bacalah ayat-ayat Al Qur’an yang gampang menurut kamu, lalu ruku’lah hingga tuma’ninah dalam ruku’, lalu bangkitlah hingga lurus, lalu sujud lah….dan seterusnya.
Dalam menanggapi hadits ini ada ulama berpendapat bahwa itu adalah suatu batasan mengenai bacaan yang dianggap cukup dalam suatu shalat, akan tetapi belum dianggap sempurna karena di hadits lain ada dikatakan wajibnya membaca Al Fatihah dalam setiap shalat, misalnya hadits dari Abu Hurairah di bawah ini ;

Sabda Rosululloh Saw. “ Barang siapa menjalankan shalat tanpa membaca Umu’l Qur’an ( Al Fatihah ) berarti shalat itu tidak utuh, shalat itu tidak utuh…( dinyatakan 3 x )  ( HR. Muslim dan Abu ‘Uwanah )

Jadi hadits Abu Hurairah ( 2 ) itu adalah bersifat sementara untuk mengajarkan kewajiban shalat, sehingga berarti jika belum bisa membaca Al Fatihah boleh membaca apa saja dari Al Qur’an yang dianggap mudah. Begitulah pendapat sebagian ulama. Padahal jika kita kembalikan kepada makna-makna penamaan Al Fatihah di atas, hadits tersebut ( 2 ) tidak ada pertentangan sedikitpun karena dianjurkan baca Al Qur’an berarti diwajibkan baca Al Fatihah.
Bagi Nasa’I dan Abu Daud dari hadits Rifa’ah bin Rafi, “ Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari pada kamu hingga ia sempurnakan wudlu sebagaimana diperintahkan Alloh Swt, kemudian ia ucapkan kebesaran Alloh Ta’ala ( takbiratul ihram ), dan memujinya, dan menyanjungnya, dan…..( dan disebutkan di situ ),
Bagi Nasa’i….Jika ada Qur’an padamu bacalah, tapi jika tidak maka pujilah Alloh, dan bertakbirlah, dan bertahlillah.
Bagi Abu Daud…..kemudian bacalah Umu’l Kitab dan apa yang dikehendaki oleh Alloh.
3.      Al Qur’an Qs Al Mujamil : 20

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

5a. Hadits dari Hudzaifah, ia berkata, “ Saya telah shalat beserta Rosululloh Saw, maka tidak ia sampai di satu ayat rahmat melainkan ia berhenti di situ  sambil berdo’a, dan tidak di satu ayat adzab, melainkan ia berlindung (kepada Alloh) dari padanya. ( Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi ). 
Ada hadits lain dimana Rosululloh berdo’a dan berlindung ( bukan membaca surat Al Qur’an ) pada saat shalat malam.

5b. Hadits dari Abi Qatadah, ia berkata,

Adalah Rosululloh Saw. mengimami kami, maka ia baca di dzuhur dan ashar di dua rakaat yang pertama Al Fatihah dan dua surat, dan terkadang ia perdengarkan ( bacaan ) ayat kepada kami dan ia panjangkan rakaat yang pertama dan di dua raat yang akhir ia baca Al Fatihah ( saja ). ( HR. Bukhari dan Muslim ).
          Katakanlah bahwa Hadits ini shahih, tentunya yakin pula bahwa Rosululloh Saw. pernah membaca ayat-ayat dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Dzuhur dan Ashar padahal shalat itu biasanya shalat sirr. Akan tetapi bagaimana bisa yakin bahwa pada saat membaca dengan sirr beliau juga membaca Al Qur’an, sebab mungkin saja Rosululloh Saw. membaca do’a dan berlindung kepada Alloh Swt.sebagaimana pernah dilakukan beliau yang diungkap pada Hadits Hudzaifah di atas ( 5a ).

5c. Hadits dari Abi Sa’id al  Khudri, ia berkata, “ Pernah kami mengira-ngira pendirian Rosululloh Saw di Dzuhur dan Ashar maka kami dapati berdirinya di dua rakaat yang pertama dari Dzuhur sekedar ( membaca ) Alif lam miim Tanzil sajdah ( surat As Sajdah ) dan di dua rakaat yang terakhir sekedar separo dari itu, dan di dua yang pertama dari Ashar, sekedar dua rakaat yang akhir dari Dzuhur, dan di dua rakaat yang akhir ( sekedar ) separoh dari itu.     ( HR Muslim ).

5d. Hadits dari Khabab :Bahwa Nabi Saw membaca Al Qur’an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar. Dikatakan, “ Dengan cara apa kamu mengetahui hal seperti itu ?” jawabnya, “ Melalui ( melihat ) gerakan dagunya”.
Berdasarkan riwayat dan rawi kedua hadits tersebut di atas ( 5c & 5d ) memang shahih, akan tetapi muatan keterangannya tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan suatu ketetapan hukum, apalagi jika kita hadapkan dengan keterangan dari Ibnu Abbas ra sebagai berikut;
“ Bahwasanya Ibnu Abbas tidak membaca Al Qur’an di dalam shalat sirr. Dan bahwasannya ia mengatakan,” Rosululloh Saw membaca Al Qur’an di dalam berbagai shalat dan diam ( tidak membaca ) pada shalat lainnya. Maka kami membaca pada shalat yang beliau ( juga ) membaca ( Al Qur’an ), dan kami diam ( tidak membaca ) pada shalat-shalat yang beliau juga tidak membacanya “. Ibnu Abbas ditanya, “ Apakah pada shalat Dzuhur dan Ashar terdapat bacaan ?” Jawabnya “ Tidak ada “.
            Keterangan Ibnu Abbas ini ditentang oleh para ahli fiqih karena dianggap bertentangan dengan keterangan-keterangan yang menyatakan bahwa tidak syah shalat tanpa Al Fatihah, sementara mereka beranggapan bahwa Al Fatihah adalah Al Qur’an. Sedangkan kita sudah bahas di muka bahwa Al Fatihah berbeda dengan Al Qur’an walaupun sama-sama sebagai firman Alloh Swt.
Memang pada shalat-shalat jahr ( dikeraskan suara bacaannya ) banyak hadits menerangkan bahwa Rosululloh Saw membaca surat-surat Al Qur’an. Jadi sebenarnya bagaimana kita harus mengikutinya ? Isyarat-isyarat apa yang dapat kita simpulkan sehingga maksud Rosululloh Saw. itu dapat dipahami dengan benar dan dapat diikuti secara benar pula. Tentunya ini perlu dicermati dari berbagai keterangan dengan teliti dan menyeluruh.
            Untuk memulai mencermati keterangan-keterangan di atas, mari kita pahami dahulu apa itu shalat ?. Shalat dapat didefinisikan sebagai suatu pengabdian seorang hamba kepada Alloh Swt. ( setelah diperintahkan oleh Alloh Swt. dan RosulNya ) dengan menghadapkan diri dan berkata-kata kepadaNya. Maka kata-kata yang ada pada waktu shalatnya seorang hamba adalah kata-kata manusia kepada Alloh Swt. yang memuat puja dan puji syukur, sanjungan, serta do’a kepada Alloh Swt.
Adapun sebagai dasar keterangan adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Anas ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw.” Apabila salah seorang daripada kamu di dalam shalat maka sesungguhnya ( berarti ) ia berkata-kata kepada Tuhannya, oleh karena itu…..( Mutafak Alaih ).

Hadits dari Abu Hurairah;
                        
“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

Al Qur’an adalah sekumpulan perkataan, ceritra-ceritra, riwayat-riwayat yang berisi tentang pelajaran, keterangan, petunjuk, perintah dan lain-lain dari Alloh kepada/untuk manusia. Maka kata-kata yang ada pada Al Qur’an adalah kata-kata Alloh Swt atau suruhanNya ( Malaikat ) kepada /untuk manusia, kecuali Al Fatihah, yang cenderung diturunkan Alloh untuk sebagai do’anya manusia kepada Alloh Swt di waktu shalat, atau do’a untuk memulai membaca, atau mempelajari Al Qur’an .
Kita lihat contoh surat-surat pendek Al Qur’an yang sering kita baca dalam shalat ;
Qs Al kaafirun 

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.                                                                 
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku".

   Qs Al Kautsar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak.   Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.          

QsAtTakaatsur
 Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
 sampai kamu masuk ke dalam kubur.
 Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),        dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
 niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
 kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang     kamu megah-megahkan di dunia itu). 

            Dengan mencermati ayat demi ayat dari surat-surat pendek Al Qur’an yang ditampilkan di atas, nampak jelas sekali bahwa kata-kata itu dari Alloh Swt. ( atau dengan perantaraan pesuruhNya ) yang ditujukan kepada manusia. Sementara kebiasaan kita sehari-hari mengucapkan atau membacanya secara utuh kata-kata tersebut yang ditujukan kepada yang kita hadapi yaitu Alloh Swt. sebagaimana diterangkan di atas ( hadits dari Anas ) yang menerangkan bahwa orang yang sedang shalat itu berarti sedang berkata-kata kepada Tuhannya. Karena itu membaca Al Qur’an secara utuh waktu shalat dengan sirr, itu sama saja dengan mengembalikan suruhan, peringatan, dan petunjukNya kepada Alloh sendiri. Semantara keterangan-keterangan yang sifatnya mengajarkan membaca surat-surat Al Qur’an pada shalat sirr tersebut kurang begitu meyakinkan.
Selain dari pada itu, jika kita membaca surat-surat Al Qur’an tersebut waktu shalat sirr, itu bertentangan dengan keterangan pada hadits yang memuat firman Alloh bahwa,”…….shalat dibagi antara Aku ( Alloh ) dan hambaKu menjadi dua bagian…..” ( lihat keterangan 1 ) karena jika kita membaca Al Qur’an secara utuh itu bukan pujian, atau sanjungan untuk Alloh dan bukan pula do’a hamba kepada Alloh untuk hamba itu sendiri. 
Sudah dikatakan di atas bahwa Rosululloh Saw banyak mencontohkan pada shalat jahr ( dikeraskan ) membaca surat-surat Al Qur’an, padahal di atas dikatakan bahwa itu bertentangan dengan keterangan hadits di atas. Namun demikian hal itu masih bias dipahami mengingat beliau adalah seorang utusan , seorang rosul, seorang pesuruh Alloh yang mempunyai tugas menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada umatnya. Maka bisa jadi Rosululloh Saw. membacakan ayat-ayat tersebut ditujukan untuk didengarkan ma’mum. Karena dipandang akan sangat berkesan pada ingatan ma’mum mengingat pada saat shalat ma,mum akan dengan khidmat mendengarkannya.
Pemahaman ini diambil dari isyarat hadits-hadits berikut ;

Riwayat bagi Ahmad dan Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban,” Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? ” Kami jawab,” betul “. Maka sabdanya, “ Jangan kamu berbuat melainkan Fatihatul Kitab karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya “.

Rosululloh Saw bersabda,” Sesungguhnya imam itu dijadikan hanya untuk diikuti. Oleh karena itu, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah dan apabila ia membaca qira’at ( Al Qur’an ) maka dengarkanlah “. ( Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu Uwanah dan Ar Rubani ).

Rosululloh Saw. bersabda, “ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya “. ( Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi dan Ahmad ).

              Sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa yang dimaksudkan dengan Al Qur’an adalah dari mulai surat Al Baqarah sampai akhir Al Qur’an atau surat An Naas, sementara Al Fatihah adalah Fatihatul Kitab ( pembukaan kitab ), atau Ummul Qur’an ( Induknya Al Qur’an ), atau As Sab’ul Matsaani ( tujuh ayat yang diulang-ulang ). Jadi ketika imam membaca Al Qur’an maka dengarkanlah karena bacaan itu untuk ma’mum, buat ma’mum, kepada ma’mum, bukan ditujukan kepada Alloh Swt. Bacaan lain selain Al Qur’an yang dibaca dengan sirr dan Al Fatihah itu ditujukan kepada Alloh dan itu harus dibaca sendiri-sendiri, bacaan inilah bacaan shalat yang dimaksud pada hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa shalat itu dibagi dua antara Alloh Swt dan hambaNya ( lihat keterangan 1 ). Jadi bacaan Al Qur’an dalam shalat adalah bacaan tambahan untuk kepentingan da’wah, dengan kata lain bahwa diwaktu shalat itu Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an tersebut untuk memberikan pelajaran, memberikan petunjuk, memberikan peringatan, memberikan perintah dengan ayat-ayat Alloh Swt. kepada ma’mumnya atau kepada umat di sekitarnya.
              Setelah dipahami bahwa Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an itu ditujukan atau disampaikan kepada ma’mum dan umat, maka hadits Ibnu Abbas ra yang menyebutkan tidak membaca Al Qur’an dalam shalat sirr dan tidak ada bacaan Al Qur’an pada shalat Zhuhur dan Ashar nampaknya lebih rasional dibandingkan dengan keterangan lain yang bertentangan dengannya, karena tidak mungkin menyampaikan atau mengajarkan ayat-ayat kepada ma’mum atau umat dengan cara sirr.
Untuk memperkuat atau memperjelas pendapat atau keterangan tersebut kita lihat hadits-hadits berikut :

Apabila beliau membaca Qira’at di rumah maka orang yang berada di dalam kamar dapat mendengar Qira’atnya itu. ( Abu Daud dan At Tirmidzi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan pula begini :
 
Bahkan barangkali beliau mengangkat suaranya lebih dari pada itu sehingga orang yang berada di luar kamar dapat mendengarnya. ( An Nasa’I dan At Tirmidzi dan Al Baihaqi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan begini :

Pada suatu malam beliau keluar, tiba-tiba beliau mendapatkan Abu Bakar tengah shalat dengan merendahkan suaranya, dan beliau melewati Umar bin Khattab ra tengah melakukan shalat dengan mengangkat suaranya. Kemudian tatkala mereka berdua berkumpul pada Nabi Saw, bersbdalah beliau, “ Wahai Abu Bakar, aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau merendahkan suaramu ?” ( Abu Bakar ) berkata “ Aku tengah memperdengarkan kepeda yang aku bisikkan wahai Rosululloh “. Kemudian beliau bersabda kepada Umar,” Aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau mengeraskan suaramu ?” Umar brkata, “ Wahai Rosululloh, aku membangunkan orang yang mengantuk dan mengusir setan”. Kemudian Nabi Saw. bersabda,” wahai Abu Bakar angkat suaramu sedikit”. Kemudian bersabda kepada Umar, “ Rendahkan sedikit suaramu “. ( Abu Daud dan Hakim dishahihkan oleh Adz Dzahabi ).

Pada riwayat di atas nampak Rosululloh Saw. tidak menyetujui alasan kedua orang tersebut. Padahal jika bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh atau ditujukan untuk diri sendiri maka Rosululloh Saw tidak akan menyuruh Abu Bakar untuk mengeraskan suaranya sedikit lebih tinggi, bahkan lebih rendahpun Alloh akan mendengarnya. Ada kemungkinan Rosululloh Saw menyuruh Abu Bakar mengeraskan suara bacaannya sedikit dan menyuruh Umar menurunkannya sedikit dimaksudkan agar bacaan Al Qur’an tersebut terdengar dengan suara yang sedang sehingga enak didengar dan akan sangat berkesan jika didengar oleh orang lain yang tidak sedang tidur atau sedang terjaga, sehingga menambah kecintaan orang yang mendengar tersebut terhadap ajaran Al Qur’an . Wallohu a’lam.
Larangan membaca Al Qur’an waktu shalat sirr tersebut tercantum juga dalam Al Qur’an itu sendiri yakni pada Qs Al Israa : 110
   

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

            Kalimat”… dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu " menurut para ahli tafsir maksudnya adalah Allah memerintahkan kepada Rasul agar di waktu salat jangan membaca ayat dengan suara keras dan jangan pula dengan suara yang rendah tapi di antara keduanya. Dimaksud dengan membaca ayat ini mencakup membaca Basmalah dan ayat lainnya. Jika rasul membaca dengan suara yang nyaring tentulah didengar oleh orang musyrikin dan mereka lalu mengejek, mengecam dan memaki-maki Alquran, Nabi dan sahabat-sahabatnya. Namun ditegur pula agar jangan terlalu rendah suaranya dalam membaca ayat Alquran sehingga sahabatnya tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Larangan ini ketika Rasul masih berada di Mekah berdasar riwayat Ibnu Abbas. Menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasul ketika di Mekah disuruh membaca dengan suara yang sedang, dilarang membaca dengan suara yang nyaring dan rendah sehingga tidak terdengar. Tetapi sesudah hijrah ke Madinah persoalan itu tidak ada lagi kecuali membaca ayat dalam salat dengan suara yang keras di luar batas yang diperlakukan, maka yang semacam ini tetap tidak dibenarkan. Akan tetapi tidak dimasalahkan bukan berarti menjadi boleh membaca Al Qur’an dengan suara rendah hingga tak terdengar, sebab ayat Qs Al Israa : 110 tidak berubah dan tetap berlaku.
Dengan tidak disebutkannya di shalat yang mana atau di shalat apa yang dimaksud, maka ini berarti ditujukan secara umum atau di seluruh shalat. Dengnan demikian jelas bahwa kita tidak boleh membaca Al Qur’an ( secara  utuh ) waktu shalat sirr.
Jadi nampaknya bacaan Al Qur’an dari orang shalat itu bukan ditujukan kepada Alloh Swt. dan bukan pula untuk mengusir setan, akan tetapi untuk memberikan pelajaran, peringatan, dan petunjuk kepada manusia di sekitarnya, termasuk ma’mum dan diri sendiri sehingga bertambah-tambah imannya. Wallohu a’lam. Bahkan diriwayatkan bahwa Rosululloh Saw pernah membaca ayat Al Qur’an dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Zhuhur dan Ashar ( lihat keterangan 5 b dan penjelasannya ), walaupun banyak pula diriwayatkan bahwa beliau shalat Zhuhur dan Ashar secara sirr. Dari keterangan- keterangan ini dapat dipahami bahwa Rosululloh Saw apabila dalam shalatnya hendak membacakan Al Qur’an maka bacaan Al Qur’annya beliau keraskan, dan apabila beliau dalam shalatnya hanya memohonkan do’a, memuji dan menyanjungNya, maka beliau shalat dengan sirr.
Rosululloh Saw nampaknya pernah mangisyaratkan bahwa Al Qur’an tidak pantas untuk dibaca ma’mum dalam shalat sirr, lihat hadits-hadits berikut ini:

Beliau shalat Zhuhur bersama para sahabatnya, lalu beliau bersabda, “ Siapa di antara kamu yang membaca Sabbihisma Robbika’l  A’la…. ?” Seorang laki-laki berkata, “ Aku, dan aku hanya menginginkan kebaikan dengan bacaan itu”. Maka beliau bersabda,” Aku telah mengetahui bahwa seorang laki-laki telah mambimbangkan pikiranku dengan bacaan itu “. ( HR Muslim, Abu ‘Uwanah, dan As Siraj ).

Rarosululloh Saw, nampak menebak ada makmum dg  sirr membaca Sabbihisma robbika’l A’la, maka bagaimana tidak bimbang pikiran Rosululloh Saw, karena seharusnya beliaulah sebagai imam yang memberikan pelajaran dan peringatan dengan Al Qur’an tersebut, akan tetapi beliau tidak hendak membaca Al Qur’an tapi justru malah ma’mum yang membaca Al Qur’an dengan membaca Sabbihisma robbika’l A’la…. “ yang artinya” Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” , ini adalah kalimat perintah yang entah kepada siapa ia tujukan.
Di riwayat lain Rosululloh Saw. pernah bersabda sebagai berikut:

“ sesungguhnya orang yang sedang shalat itu sedang berbisik-bisik dengan Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah ia memperhatikan apa yang dibisikkannya itu kepadaNya, dan janganlah sebagian kamu mengeraskan bacaan-bacaan Al Qur’an atas sebagian lainnya.” ( Malik dan Bukhari dengan sanad yang shahih ).

Jika seseorang berbisik-bisik dengan shalatnya dengan membaca “ Sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi” dengan bisikan yang ditujukan kepada Alloh ( shalat ), apakah itu pantas ?, tentu saja tidak. Bacaan itu lebih pantas jika dibaca secara jahr untuk ditujukan kepada orang lain. ( Oleh imam kepada ma’mum ).
Jika semua pemahaman di atas itu benar maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada shalat sirr baik sendiri maupun berjamaah tidak boleh membaca surat Al Qur’an. Atau apabila hendak membaca Al Qur’an maka surat atau ayatnya dipilih yang memiliki kandungan yang bersifat pujian atau do’a atau permohonan perlindungan kepada Alloh. Bahkan nampaknya diperbolehkan berdo’a dan berlindung kepada Alloh Swt. dengan redaksi sendiri, mengingat hal demikian pernah dilakukan Rosululloh Saw. sebagai rujukan lihat keterangan 1 dan 5 a.
Semua surat Al Qur’an merupakan kata-kata atau firman yang bersifat peringatan, pelajaran, perintah, atau petunjuk dari Alloh kepada manusia, sehingga jika dibaca satu surat utuh tidak ada satu suratpun yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh Swt. Namun demikian, sebenarnya ada surat-surat yang bersifat perintah kepada manusia agar manusia berlindung atau memuji kepadaNya, akan tetapi kebiasaan kita sehari-hari selalu membaca surat-surat tersebut secara utuh sehingga akhirnya kita hanya menirukan perintah Alloh Swt dan tidak pernah melaksanakan perintahNya. Adapula ayat-ayat yang menceritakan bagai mana umat atau para nabi terdahulu berdo’a kepada Tuhannya.
Kita lihat surat-surat Al Qur’an yang memerintahkan atau menganjurkan agar manusia berlindung dan memuji kepadaNya :

Qs Al Falaq 
                                                                      
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,    
dari kejahatan makhluk-Nya, 
dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".

Qs An Naas

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.      .                                                                    
Raja manusia.
Sembahan manusia.
dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
dari (golongan) jin dan manusia.

Qs Al Ikhlas

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Pada ayat pertama kedua surat tersebut di atas terdapat kalimat “ Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan…… ”, jika kita amati kalimat tersebut terdiri dari dua bagian yaitu kata “ Katakanlah “ adalah sebuah kata perintah dari Alloh Swt. yang ditujukan kepada manusia. Kemudian bagian lainnya adalah kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan…..” itu adalah kata-kata manusia yang ditujukan kepada Alloh Swt, hanya saja redaksinya dari Alloh Swt. agar manusia berdo’a memohon perlindungan kepadaNya.
Jika dalam shalatnya orang membaca “ Katakanlah…” maka jelas sekali bahwa orang yang mengatakan kata tersebut memerintah kepada siapa yang dihadapinya ( Alloh Swt ), ini merupakan hal yang tidak bisa diterima kebenarannya secara akal pikiran. Karena itu jika ingin membaca surat tersebut di waktu shalat sirr adalah kata-kata yang pantas diucapkan manusia kepada Alloh Swt yakni kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan….” Karena demikianlah kedudukannya orang yang sedang shalat sirr. Kita lihat hadits berikut :

Beliau bersabda kepada ‘Uqbah bin Amir ra, “ Baca di dalam shalatmu dua surat yang memakai A’udzu. Tidak ada orang yang membaca A’udzu selain dua surat itu ( Al Falaq dan An Naas ). HR Abu Daud dan Ahmad dengan sanad yang shahih.

Dengan sabda tersebut di atas nampaknya Rosululloh Saw. hendak menjelaskan bahwa bacaan Al Qur’an yang cocok untuk dibaca dalam shalat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ‘Uqbah bin Amir ra waktu itu ( tidak berma’mum kepada Rosolulloh Saw. disaat shalat jahr ) adalah surat Al Falaq dan An Naas dengan dimulai dari kata “A’udzu …” bukan “ Qul A’udzu…”.
Lain halnya dengan Imam yang membacanya dengan jahr. Karena bacaan imam adalah bacaan bagi ma’mum, jadi kata “ Katakanlah ..” itu ditujukan kepada ma’mum bukan kepada Alloh Swt. Wallohu a’lam.
Sebagai tambahan untuk memperlihatkan  ayat Al Qur’an yang mana yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh, kita lihat hadits di bawah ini :

Pada suatu malam beliau melaksanakan shalat malam dengan membaca suatu ayat yang diulang-ulang hingga datang waktu shubuh yaitu ayat :

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( Qs Al Maidah: 118 ).

Beliau ruku’dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya. Tatkala datang waktu shubuh, berkatalah Abu Dzarr ra kepada beliau, “ Wahai Rosululloh Saw, masih saja engkau membaca ayat ini hingga engkau menemia waktu shubuh. Engkau ruku’ dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya sedangkan Alloh Swt telah mengajarkan Al Qur’an kepadamu seluruhnya. Sekiranya sebagian kita mengerjakan hal ini, niscaya kita akan mendapatkannya.
Beliau bersabda,” Sesungguhnya aku telah memohon shafa’at kepada Tuhanku untuk umatku. Maka dia memberikannya kepadaku dan insya Alloh ia akan diterima oleh orang yang tidak mensekutukan Alloh dengan sesuatu. ( An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Ibnu Nashr dan Al Hakim serta dishahihkan dan disepakati oleh Adz Zahabi ).
demikian,  Wallohu 'alam 

Friday, 28 May 2010

MIMPI

Bagi sebagian orang mimpi mungkin hanyalah bunga tidur yang tidak ada artinya sama sekali, karena memang mimpi itu sering kali tidak karuan, dan ceritranya aneh-aneh, tidak masuk akal, kadang lucu kayak film kartun, dan lain-lain.
Walaupun begitu ada sebagian orang yang sering mencari-cari arti dari mimpi-mimpi tersebut, sehingga tidak heran jika orang-orang  sampai membuat tafsir mimpi, bahkan sampai ada terbit buku 1001 tafsir mimpi.
Dugaan saya tentang 1001 tafsir mimpi, yang keliru atau meleset  tentu banyak, tapi yang benar kayaknya jarang ya, kecuali mimpi pipis.
Yang menarik dari mimpi bagi saya bukan tentang arti-arti dari mimpi, mimpi ikan akan dapat rizki, mimpi dapat uang bakal korengan, mimpi berenang bakal kesusahan, dll, bukan itu, yang demikian baiknya jangan dipercaya, kecuali mimpi pipis bakal ngompol, baru itu layak dipercaya. Yang membuat saya penasaran dari mimpi adalah apakah mimpi itu, bagaimana manusia bisa mimpi.
Saya penasaran dengan mimpi karena saya sering dibuat aneh dengan mimpi-mimpi saya sendiri, misalnya begini :
           Suatu malam saya mimpi mengambil dan menggenggam telur ayam, kemudian besoknya sore-sore    saya luntang-lantung ke tanah kosong samping rumah, eh nemu telur ayam persis seperti  dalam mimpi itu.
            Kemudian suatu malam saya mimpi anak saya bersimbah darah di perutnya, kemudian besoknya saya iseng-iseng telpon istri ( di kota lain ) menanyakan kabar anak, eh ternyata anak saya lagi panas. Dan mimpi-mimpi lain yang sepertinya ada hubungan misterius, tapi tidak tafsir menafsir sebagaimana kamus 1001 tafsir mimpi itu.
Karena keanehan itu saya coba-coba mencari jawabannya, apa mimpi itu, bagaimana orang bisa mimpi, bagai mana mimpi bisa menginformasikan hal yang akan terjadi.
Hingga kini yang saya dapatkan dari buku-buku yang informasinya katanya hasil penelitian canggih menerangkan bahwa ada dua macam mimpi utama yaitu REM ( Rapid Eye Movement ) atau disebut kilatan mata, dan mimpi non REM, dimana saat mimpi REM, daya imajeri menjadi tak terkendali karena adanya perubahan kimiawi otak saat tidur dan karena manajer otak ( cuping frontal ) di non aktifkan, mata bergerak-gerak sedangkan tubuh tetap tenang. Mimpi REM juga tampak sangat jelas, berbentuk gambar atau lukisan dan melibatkan berbagai penginderaan.Bahkan melibatkan sensasi gerak yang penuh dengan emosi.Mengapa kita sangat terlena mengalami mimpi REM? Salah satu alasannya adalah adanya perubahan-perubahan kimiawi otak disaat tidur REM, kurir-kurir kimiawi otak acetylcholine membludak
melebihi kapasitas normal, sedangkan kimiawi nonadrenalin dan serotonin menutup kran-kran mereka. Perubahan-perubahan dalam otak ini mematikan bagian penting otak, cuping frontal, juga bagian-bagian lain di cuping parietal.
Bagian-bagian otak itu merupakan tempat kesadaran diri, sehingga benarlah pendapat yang menyataka bahwa meningkatnya emosi disebabkan oleh naiknya aktivitas sistem emosi otak di amygdale dan daerah limbik. Yang lebih menarik lagi, di bagian tengah cuping frontal yang "menyala" saat berada dibawah pengaruh hipnotis, yaitu daerah anterior cingulate juga memiliki peningkatan aktivitas saat mimpi REM. Jadi, tidak aneh apabila area otak yang sama akan aktif saat mengalami mimpi tidur REM dan saat berimajinasi di waktu terjaga. Di saat anda bermimpi seekor luwak hampir memakan teman anda, maka otak bagian belakang anda akan aktif sebagaimana saat anda melihat luwak sesungguhnya. 
Begitu juga saat anda merasakan jatuh, maupun berlari , sistem otak yang bertugas untuk keseimbangan gerak, seperti saat jatuh dan mengayun kaki, akan mencetuskan impuls-impuls syaraf sebagaimana saat anda betul-betul terlibat dalam aktivitas tersebut. Lebih dari itu, saat anda bermimpi berlari, misalnya dari mobil anda menuju pintu rumah, maka akan terdapat kesamaan antara jumlah waktu saat terjadi aktivitas impuls syaraf di bagian motor otak dengan durasi waktu dalam mimpi tersebut.
Sedangkan mimpi non REM adalah mimpi yang menyerupai fikiran normal, misalnya mimpi saat tidur siang, dll.
Inilah penjelasan yang saya kutip dari buku " Membuka Mata Pikiran & Imajinasi " karya Ian Robertson
Benar atau tidak penjelasan ini, sepertinya tidak menjawab misteri mimpi yang sering saya alami, dimana ketika malamnya saya mimpi melihat banyak ikan maka  sering kali  keesokan harinya ada yang mengeluh untuk kemudian pinjam uang.
Sebelum saya mendapatkan penjelasan lain, akhirnya saya ( dengan segala kebodohan dan ke sok tahuan nya ) saya mencoba ikut menganalisa penomena mimpi tersebut, dimana sementara ini saya berpendapat bahwa ada kekuatan atau kekuasaan pihak lain selain diri kita  sendiri yang mampu mempengaruhi otak kita pada saat otak kita  sedang beraktipitas maupun tidak sedang beraktipitas, sehingga kekuatan pihak lain tersebut bisa membuat mimpi yang bersifat informasi, apakah itu jin, malaikat, atau Tuhan. Jika tidak ada kemampuan lain , bagaimana  bisa saya memimpikan bahwa ibu saya yang berada di Tasikmalaya sedang ada masalah, padahal saya sedang berada di Bandung, walaupun mimpi saya tersebut tidak sama persis dengan yang dialami ibu saya tersebut. Juga, sebenarnya kekuatan siapa yang mampu mempengaruhi otak manusia yang kena hipnotis ?
Oleh sebab itu, Islam mengajarkan agar sebelum tidur kita diharuskan  berdo'a mohon perlindungan kepada Alloh atas jiwa dan raga  yang tidak berdaya ketika tidur, juga Alloh SWT memerintahkan dengan surat An- Naas & surat Al Falaq agar kita berlindung pada Nya dari bisikan syaitan yang terkutuk & dari mahluk lain yang dengki.





Thursday, 13 May 2010

BID'AH


BATASAN BID"AH
Perbedaan paham yang sangat mencolok dan sangat prinsip diantara kelompok-kelompok Islam yang sering mengemuka di lingkungan kita adalah mengenai hal-hal bid’ah dan pemahamannya. Ada kelompok islam yang begitu hati-hatinya untuk menghindari perbuatan bid’ah, dan ada pula kelompok yang tidak begitu memperhatikanya, bahkan cenderung tidak mengenal kata bid’ah .
Perbuatan bid’ah memang harus dihindari sebab dari beberapa riwayat, Rosululloh Saw sangat tegas menyuruh kepada umat untuk tidak melakukan perbuatan bid’ah, kita lihat keterangan berikut:
Dari Jabir bin Abdillah , ia berkata:
“ Adalah Rosululloh Saw. manakala berpidato/ khutbah , merah kedua bola matanya, lantang suaranya-nampaknya marah – seolah-olah ia sedang menyiagakan pasukan tentara, beliau bersabda: “ Amma ba’du ( ingatlah ! ) sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Alloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sejelek-jelek urusan adalah perbuatan bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat.” ( HR Muslim )
Dengan merujuk keterangan tersebut di atas, jelas sekali bahwa kita memang harus menghidarkan diri dari melakukan perbuatan bid’ah, karena jika melakukan perbuatan bid’ah maka berarti kita telah menempuh jalan yang sesat. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah perbuatan-perbuatan seperti apakah bid’ah itu ?. Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat karena terlalu berhati-hati menghindari dari melakukan perbuatan bid’ah (menurut paham salah satu kelompok Islam ) maka hal-hal yang bersifat do’a kepada Alloh pun jadi dilarang karena dikatagorikan sebagai perbuatan bid’ah, misalnya berkunut di shalat shubuh, shalat tarawih yang lebih banyak dari 11 rakaat, sebagian shalat sunnah ba’da atau qobla shalat wajib yang biasa dilakukan suatu kelompok tertentu, dll. dengan alasan tidak dicontohkan oleh Rosululloh Saw., bahkan beda bacaan shalat sedikitpun dikatakannya sebagai bid’ah. Apakah itu benar ?.
Adapun definisi atau pengertian bid’ah yang dipahami dan dijadikan pedoman oleh salah satu kelompok islam tersebut adalah sebagai berukut;
1. Menurut_Imam_Al-Syathibi: Bid’ah adalah gambaran satu perjalanan dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syara, dimaksudkan dengan itu supaya bersungguh-sunguh berbakti kepada Alloh Swt.
2. Bid’ah adalah urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, atau cara ibadah yang tidak terjadi di zaman Rosululloh Saw.
3. Bid’ah adalah hal-hal yang baru dalam agama setelah mana agama itu sempurna. Atau bid’ah itu, apa-apa yang diada-adakan setelah Rosul tiada, baik berupa aturan maupun perbuatan.
Dengan definisi-definisi tersebut di atas maka timbullah paham bahwa segala sesuatu praktek peribadatan yang tidak ditemukan haditsnya atau tidak pernah dilakukan Rosululloh maka itu adalah bid’ah.
Sebagai bahan perbandingan mari kita lihat riwayat-riwayat berikut.
Dari Rifa’ah bin Rafi, ia berkata, pada suatu hari kami shalat di belakang Rosululloh Saw, maka ketika ia ( Rosululloh Saw ) mengangkat kepalanya dari ruku’ ia mengucapkan sami’allohu liman hamidah maka seorang laki-laki di belakangnya mengucapkan “ Robbana lakal hamdu..... “ yang artinya “ya Tuhan kami bagimulah segala puji-pujian yang sebanyak-banyaknya, penuh berkah di dalamnya “. Maka ketika Rosululloh selesai ( shalatnya ) ia bertanya, “ siapa yang mengatakan bacaan tadi ?”. Maka seorang laki-laki tadi menjawab, “ saya wahai Rosululloh “ maka bersabda Rosululloh Saw. “ sungguh aku telah melihat lebih tiga puluh malaikat, mereka saling berebut siapa di antara mereka yang paling dahulu menuliskannya. ( HR Ahmad dan Bukhari )
Pada hadits di atas dikatakan bahwa ketika Rosululloh Saw. selesai ( shalatnya ) beliau bertanya, siapa yang yang mengatakan bacaan tadi. Ini menunjukkan bahwa apapun yang dilakukan oleh seorang laki-laki saat itu adalah hal asing bagi kabiasaan Rosululloh dan umatnya, akan tetapi Rosululloh tidak mengatakan bahwa hal demikian itu bid’ah.
Hadits lain: Dari Abi Sa’id Al Khudri, ia berkata, telah bepergian dua orang laki-laki, maka tiba waktu shalat sedangkan mereka tidak membawa air, mereka bertayamum dengan tanah yang baik kemudian keduanya shalat, lalu mereka mendapatkan air ( masih dalam waktu shalat ). Salah seorang di antara keduanya mengulangi shalat dan berwudlu ( lebih dahulu ), sedangkan yang seorang lagi tidak mengulangnya. Kemudian keduanya datang kepada Rosululloh Saw. seraya menceritakan hal tersebut kepadanya ( Rosul ). Rosul berkata kepada orang yang tidak mengulang ( shalat ) ” Kamu telah cocok dengan sunnah dan cukup bagimu shalatmu “, selanjutnya Rosul bersabda kepada yang lainnya. “ Bagimu ganjaran dua kali lipat “. ( HR Abu Daud )
Pada hadits tersebut dikatakan bahwa yang tidak mengulang shalat dengan berwudlu adalah sudah sesuai dengan sunnah dan cukup. Akan tetapi kepada yang mengulang shalat dengan berwudlu yang tidak sesuai dengan sunnah Rosululloh Saw.( berlebih ) beliau tidak mengatakan bahwa itu bid’ah malah sebaliknya beliau mengatakan bahwa pahalanya dua kali lipat. Karena bagaimanapun orang yang mengulang shalat tersebut memiliki semangat dan ketaatan yang lebih kepada Alloh Swt. dan telah berdo’a ( dengan shalatnya ) yang lebih pula dibandingkan yang tidak mengulang shalat tersebut.
Lihat juga hadits berikut:
Dan pernah seorang laki-laki dari kaum Anshar mengimami mereka di mesjid Quba’ setiap kali ia membuka suatu surat yang dibacanya ( setelah Al Fatihah ) maka ia membukanya dengan Qul Huwallohu Ahad hingga selesai, kemudian membaca surat lain bersamanya. Demikianlah ia melakukan hal itu dalam setiap rakaat. Kemudian para sahabatnya berkata kepadanya,” Sesungguhnya engkau membukanya dengan surat ini lalu engkau menganggap bahwa ia tidak mencukupimu sehingga engkau membaca surat lain, maka ( pilihlah ) apakah engkau membacanya ataukah engkau meninggalkannya dan membaca yang lain”. Laki-laki itu berkata,” Aku tidak akan meninggalkannya, jika kamu sekalian menyukai aku untuk mengimami kamu dengan itu maka aku lakukan, tapi jika kamu benci niscaya aku akan meninggalkan kamu”. Mereka telah menganggapnya sebagai orang yang paling utama di antara mereka dan mereka tidak menyukai apabila orang lain selain ia mengimami mereka. Kemudian tatkala Nabi Saw. datang kepada mereka, mereka mengabarkan kabar itu kepada beliau. Beliau bersabda,” Hai fulan, apa yang melarangmu untuk tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu ? Dan apa yang membawamu untuk membiasakan membaca surat ini di dalam setiap rakaat ?. Laki-laki itu berkata,” Sesungguhnya aku menyukainya”. Beliau bersabda,” Kesukaanmu kepadanya akan memasukkan engkau ke dalam surga”. ( Al Bukhari secara mualaq dan Turmudzi secara maushil, dishahihkan oleh Turmudzi )
Pada hadits tersebut seorang imam itu nampak membuat kebiasaan sendiri yang seolah-olah merupakan suatu ketetapan, lalu kemudian para saha- batnya seolah-olah membid’ahkannya karena tidak sama dengan kebiasaan Rosululloh, akan tetapi ternyata Rosululloh Saw. sendiri tidak membid’ahkannya, bahkan sebaliknya beliau menjaminnya masuk surga. Seandainya imam tersebut mengikuti larangan sahabatnya dalam melakukan kebiasaannya itu maka peluang atau jaminan masuk surga menjadi berkurang. Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita ambil sebagai pelajaran agar tidak sembarangan menilai bid’ah do’a-do’a, atau shalat-shalat, atau perbuatan-perbuatan orang yang dianggap tidak ada contoh Rosululloh Saw.( sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab kumpulan hadits ), sebelum benar-benar meneliti masalahnya.
Sebagai bahan koreksi, selain sebagian riwayat-riwayat tersebut di atas, maka lihat pula sabda Rosululloh Saw. tentang bid’ah tersebut :
a. Dari Abu Bakar Shiddiq ra. Ia berkata:
Rosul bersabda bahwa iblis berkata,” Aku membinasakan manusia dengan dosa, mereka membinasakanku dengan istighfar. Ketika aku melihat hal itu, aku binasakan mereka dengan keinginan melakukan pekerjaan bid’ah, agar mereka mengira mereka mendapat petunjuk yang benar, maka akibatnya mereka tidak memohon ampunan kepada Alloh”. ( HR Ibnu Abi Ashim ).
b “ Bacalah Al Qur’an di dalam setiap bulan “ Ibnu Amr berkata “ Aku mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan “ Beliau bersabda. “ Bacalah ia ( Al Qur’an ) di dalam dua puluh malam “ Ibnu Amr berkata “ Aku mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan “ Beliau bersabda. “ Bacalah ia ( Al Qur’an ) di dalam tujuh malam dan jangan lebih sedikit dari pada itu“. ( HR Bukhari & Muslim ).
Berikutnya hadits lain dengan sabdanya masih kepada Ibnu Amr:
c.“ Barang siapa yang membaca ( seluruh ) Al Qur’an lebih sedikit dari pada tiga malam maka ia belum memahaminya “( HR Ahmad dengan sanad yang shahih ).
Kita lihat sabda Rosululloh Saw. kepada Ibnu Amr yang memiliki semangat yang kuat dan waktu luang untuk membaca Al Qur’an dengan cepat-cepat tapi tidak memperlihatkan minat untuk memahami isinya;
d. “ Sesungguhnya setiap hamba itu mempunyai semangat yang kuat, dan setiap semangat yang kuat itu mempunyai waktu senggang, baik kepada sunnah maupun kepada bid’ah. Barang siapa yang senggangnya itu ( menuju ) kepada sunnah maka sesungguhnya ia telah mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang senggangnya itu ( menuju ) kepada selain itu , maka sesungguhnya ia telah hancur. ( HR Ahmad dan Ibnu Hibban di dalam shahih Ibnu Hibban )
Pada hadits ( a ) dapat dipahami bahwa definisi bid’ah adalah suatu perbuatan yang seperti petunjuk yang benar ( seperti shalat, baca bacaan ayat atau do’a, dll ) tetapi akibatnya yang melakukan hal tersebut tidak memohon ampunan kepada Alloh Swt, atau tidak mohon apa-apa kepada Alloh Swt. Hal ini bisa terjadi kepada orang yang melakukan Shalat, membaca do’a-do’a, atau melakukan sejenis ritual yang mereka merasa melakukan bakti atau ibadah kepada Alloh Swt, tapi hati dan pikirannya tidak konsentrasi atau lalai dari apa yang mereka ucapkan atau yang mereka lakukan sehingga maksud dan tujuan yang mereka lakukan tersebut menjadi tidak jelas, kata yang diucapkan ada mohon ampunan kepada Alloh tapi hati dan pikirannya tidak menyadarinya, kata yang diucapkan ada mohon petunjuk kepada Alloh tapi hati dan pikirannya tidak menyadarinya, kata yang diucapkan ada mohon rizki tapi hati dan pikirannya tidak merasakannya/ tidak mengharapkannya, Alloh Swt yang mengetahui hati dan pikiran manusia waktu itu mungkin tidak akan merasa dimohon apa-apa karena kata-kata yang diucapkan tidak dengan sungguh-sungguh, demikian halnya dengan orang memohon keselamatan tapi yang dilakukan melempar ayam ke laut misalnya maka maksud dan tujuannya menjadi tidak jelas. Demikian pula halnya dengan rentetan hadits-hadits ( b, c dan d ) pengertian bid’ah yang diungkapkan Rosululloh Saw semakna dengan hadits ( a ) tersebut di atas yakni semangat yang kuat untuk membaca Al Qur’an ( seperti melakukan petunjuk yang benar ) tetapi tidak untuk memahami isinya, akibatnya tidak mengharapkan petunjuk dari Alloh Swt, padahal Al Qur'an adalah petunjuk dari Alloh Swt bagi manusia wallohu a’lam.
Demikianlah bahasan yang dapat disajikan sekedar untuk merangsang umat agar selalu mau berpikir untuk mengkaji ulang ajaran Islam baik secara individu maupun kelompok sehingga timbul keyakinan yang hakiki dalam kalbu atau ditemukan ajaran Islam yang haq menurut Al Qur’an dan Sunnah, dan akhirnya tidak terdapat lagi pertentangan di antara umat Islam, Amin.

Saturday, 8 May 2010

BACAAN YANG WAJIB BAGI MA'MUM


Bacaan Al Fatihah bagi ma’mum
Seringkali kita alami hal atau kejadian yang kalau kita perhatikan nampaknya akan membuat kita penasaran kenapa hal demikian bisa terjadi, lalu jika kita pikirkan nampaknya hal tersebut adalah keberadaan yang mustahil akan kebenarannya atau yakin bahwa keberadaan tersebut adalah salah.
Kejadian dimaksud adalah begini, sewaktu shalat berjamaah di suatu mesjid umum ( bukan mesjid golongan tertentu ) di mana shalat itu adalah shalat jahr, pada saat imam selesai membaca Al Fatihah lalu imam membaca surat-surat pendek Al Qur’an, pada saat itu ada sebagian ma’mum membaca Al Fatihah dengan sir atau berbisik-bisik, sedangkan ma’mum lain diam, tidak mambaca apa-apa dan hanya mendengarkan bacaan-bacaan imam, sementara itu pemahaman mereka yang diam tidak membaca apa-apa pada saat imam membaca Al Fatihah dan surat dengan jahr, mereka tidak membenarkan jika ma’mum membaca Al Fatihah, dan begitu pula sebaliknya. Jika dipikirkan maka perbedaan tersebut mestinya tidak terjadi sebab awal dari tata cara shalat berasal dari satu orang yaitu Rosululloh Saw. Namun jika ditelusuri kepada akar permasalahannya ternyata yang menjadi sebab adalah karena telah terjadi perbedaan pemahaman dari keterangan-keterangan yang dipelajari mereka ( para ahli terdahulu dan para imam ) kemudian sebagian para ahli dan pengikutnya saling mengklaim bahwa pemahamannyalah yang benar, kemudian mereka saling meninggalkan mereka-mereka yang berbeda pemahaman, maka terjadilah pengelompokan umat atas dasar perbedaan pemahaman ajaran Islam, sehingga pendirian masing-masing mesjid kadang-kadang menjadi symbol pengelompokan mereka. Seharusnya umat Islam merasa khawatir atas keadaan tersebut jangan-jangan termasuk kondisi yang diperingatkan Alloh Swt. dalam firmanNya, Qs Ali Imron : 103 sebagai berikut.

Dan berpeganglah kamu semua kepada tali ( agama ) Alloh dan janganlah kamu bercerai- berai. Dan ingatlah akan nikmat Alloh ketika kamu dahulu ( masa jahiliyah ) bermusuh-musuhan……”
Qs. Ali Imron : 105.

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat “
Perbedaan praktek shalat yang disertai dengan paham bahwa yang satu benar dan yang lain tidak benar adalah kondisi yang tidak mungkin benar sebab pada awalnya shalat diajarkan oleh satu orang yaitu Rosululloh Saw. Akan tetapi untuk menentukan paham mana yang benar di antara ajaran-ajaran yang berbeda tersebut tidak dapat dilakukan jika kita tidak menelaah sumber-sumber keterangannya. Oleh karena itu untuk memecahkan masalah perbedaan pendapat harus selalu dikaji ulang dengan menelaah Al Qur’an dan Hadits-hadits shahih. Sementara itu perdebatan-perdebatan yang terjadi diantara umat seringkali menggunakan pendapat para imam sebagai dalih atau refferensi.
Untuk bahan kajian dalam kasus perbedaan tata cara berma’mum pada saat imam membaca dengan jahr, mari kita lihat bagai mana para ahli pendahulu memahami keterangan-keterangan tentang hal tersebut.
Beberapa sabda Rosululloh Saw.
1.a.
“ Tidak sah shalat orang yang tidak membaca di dalamnya Fatihata’l kitab ( Al Fatihah )……” ( H.R. Al Bukhari, Muslim, Abu’Uwanah dan Al Baihaqi }
b.
“ Tidak akan diberi pahala shalat orang yang tidak membaca Fatihata’l kitab di dalamnya “ ( Daqraquthni,dishahihkan olehnya dan Ibnu Hibban di dalam shahih Ibnu Hibban ).
c.
“ Barang siapa yang melakukan suatu shalat yang di dalamnya ia tidak membaca Fatihata’I kitab maka shalat itu kurang, shalat itu kurang, tidak sempurna “ ( H.R Muslim dan Abu ‘Uwanah ).
Dengan keterangan-keterangan ini semua ulama setuju bahwa dalam segala shalat wajib membaca Al Fatihah pada setiap rakaatnya. Akan tetapi dalam hal shalat berjamaah di mana shalat itu shalat jahr, maka dalam hal ini timbul perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban membaca Al Fatihah itu di tanggung oleh imam, sehingga ma’mum tidak perlu membaca Al Fatihah, sementara ulama lain berpendapat bahwa baik imam maupun ma’mum sama-sama wajib membacanya sehingga terjadilah perbedaan paham diantara umat sebagaimana sering kita temui diantara kita, tentunya masing-masing mempunyai dasar argumentasi sebagai mana diungkapkan di bawah ini,
Sebenarnya pada awalnya dalam hal ini terdapat tiga kelompok perbedaan paham.
Paham pertama.
Bahwa ma’mum membaca Al Fatihah dan surat Al Qur’an bersama imam ketika imam membaca dengan sirr, atau membaca Al Fatihah jika tidak mendengar bacaan imam pada shalat jahr, namun ma’mum diam ( tidak membaca Al Fatihah maupun Al Qur’an ) ketika mendengar imam membaca dengan jahr. Paham ini berasal dari pahamnya imam Maliki, yang kemudian diikuti oleh ulama Indonesia dari kalangan Islam Persatuan.
Paham kedua.
Ma’mum membaca Al Fatihah dan surat Al Qur’an ketika imam membaca dengan sirr dan membaca Al Fatihah saja ketika imam membaca dengan jahr. Paham ini berasal dari pahamnya imam As Syafi’i yang kemudian diikuti oleh ulama NU.
Paham ketiga.
Ma’mum tidak membaca apa-apa apakah imam membaca dengan sirr atau pun jahr. Akan tetapi paham ini tidak terkenal di Indonesia.
Adapun keterangan-keterangan yang mengakibatkan mereka berbeda pemahaman itu adalah sebagai berikut.
Keterangan-keterangan yang dipegangi oleh paham pertama:
2.a. Firman Alloh Swt.

Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” ( QS Al Araf:204 )
b. Rosululloh Saw bersabda:
“ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya.“ ( Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Uwanah dan Ahmad ).
c. Riwayat dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya sesudah rosululloh Saw selesai dari suatu shalat yang beliau baca denngan nyaring lalu beliau bersabda, “ Adakah siapa-siapa di antara kamu baca bersama-sama aku tadi?” maka jawab seseorang, “ Ya, ya Rosululloh!” maka Rosululloh bersabda, “ Aku mau bertanya, mengapa aku dilawan baca Qur’an?” Kata Abu Hurairah, sesudah itu berhenti orang-orang daripada membaca bersama Rosululloh Saw di sembahyang yang Rosululloh baca dengan nyaring ketika mereka dengar yang demikian itu dari Rosululloh Saw. ( R.Abu Daud, Nasa’i, Turmudzi dan ia berkata hadits itu baik dan diriwayatkan pula oleh Malik di Mu’wath tha dan oleh Syafi’i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).
d. Riwayat dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya Rosululloh Saw telah bersabda, “ Dijadikan imam tidak lain melainkan untuk di turut dia, karena itu kalau ia takbir hendaklah kamu takbir dan apabila baca qiraat hendaklah kamu dengarkan” ( R Lima Imam, lihat Bulughul Maram, kecuali Turmudzi dan dishahihkan oleh Muslim ).
Sedangkan paham kedua memakai keterangan-keterangan berikut:
Hadits-hadits di atas ( keterangan 1a, b, c ) yang menerangkan bahwa wajibmembaca Al Fatihah dalam segala shalat.
3.a.Dalam shalat fajar beliau membacakan qira’at lalu berat baginya untuk membacanya. Maka tatkala selesai shalat beliau bersabda, “ Jangan-jangan kalian membaca qira’at di belakang imam kamu?” Kami berkata, “ Benar dengan cepat-cepat, wahai Rosululloh “. Beliau bersabda, “ Jangan kalian kerjakan, kecuali jika diantara kalian membaca Fatihata’l Kitab, karena sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak membacanya”. ( Al Bari dalam Juj’ul Qira’ah, Abu Daud dan Ahmad dan dihasankan oleh Turmudzi dan Daraquthni )
b. Sabda Rosululloh Saw:
“…jangan kamu baca sesuatu dari pada Qur’an apabila aku baca keras melainkan Ummul Qur’an “. ( R. Abu Daud, Nasa’I, Daraquthni dan ia berkata, rawi-rawinya orang-orang yang dipercaya ).
c.Dan dari hadits-hadits lain yang senada.
Dengan keterangan-keterangan di atas yang menurut mereka ( para ahli pendahulu ) saling bertentangan itu, masing-masing paham saling mempertahankan pendapatnya dan berupaya mencari-cari pembenaran paham, bahkan ada kesan saling mencari-cari kelemahan keterangan lain.
Setelah ditelaah, keterangan-keterangan tersebut di atas dan keterangan lainnya rasa-rasanya tidak terdapat pertentangan, justru kesemuanya itu merupakan keterangan-keterangan yang saling melengkapi, di mana setiap sabda Rosululloh Saw itu mempunyai arah penekanan pada maksud tertentu. Sementara ini keterangan-keterangan di atas dipahami sebagai berikut:
Dari keterangan 1dipahami bahwa setiap orang, imam dan ma’mum setiap shalat wajib membaca Al Fatihah, tidak ada shalat atau rakaat tanpa bacaan Al Fatihah.
Dari keterangan 2a dipahami dengan jelas bahwa jika dibacakan Al Qur’an sangat dianjurkan atau wajib untuk mendengarkan dan memperhatikannya dalam keadaan apa saja dalam lingkup keleluasaan kesempatan dan keleluasaan waktu, ( tidak termasuk wajib bagi orang yang sedang sangat sibuk bekerja dengan penuh konsentrasi atau melakukan kegiatan lain yang bermanfaat, karena memang tidak pantas membacakan Al Qur’an kepada mereka ). Dalam shalat, jika imam membaca Al Qur’an maka ma’mum menjadi wajib hukumnya untuk mendengarkannya, karena maksud daripada imam membacakan Al Qur’an tersebut adalah untuk diperdengarkan kepada ma’mum, bukan untuk diperdengarkan kepada Alloh Swt, sebagai mana disabdakan Rosululloh Saw pada Hadits keterangan 2b, “ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adaqlah bacaan baginya”. Untuk Hadits ini dipahami begini, dengan dibacakannya Al Qur’an oleh imam maksudnya seolah-olah imam memberikan peringatan, petunjuk, pelajaran atau nasihat dan lain-lain kepada ma’mum dengan ayat-ayat Alloh ( Al Qur’an ) dan bukan berarti imam mewakili ma’mum berdo’a kepada Alloh Swt. Untuk lebih jelasnya kita lihat contoh surat Al Qur’an berikut ini.
Qs Al Maa’uun
1. Tahukah kamu ( orang ) yang memndustakan agama.
2 Itulah orang yang menghardik anak yatim
3 Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
4 Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.
5 ( Yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
6 Orang-orang yang berbuat riya.
7 Dan enggan ( menolong dengan ) barang yang berguna ( zakat ).
Kita bisa lihat bahwa surat Al Maa’uun bukanlah do’a kepada Alloh Swt, akan tetapi merupakan pelajaran dan peringatan dari Alloh Swt kepada manusia, karena itu jika seorang imam dalam shalatnya membaca surat tersebut berarti imam tersebut sedang memberikan pelajaran dan peringatan kepada ma’mumnya dengan kalimat-kalimat Alloh tersebut, dan solah-olah imam itu menggantikan tugas Rosululloh untuk menyampaikan ayat-ayat Al Qur’an kepada umat. Oleh karena itu amat tepat jika kemudian Rosululloh Saw mensyaratkan agar yang menjadi imam itu adalah orang yang paling bisa membaca Al Qur’an, sebagaimana disabdakan Rosululloh Saw pada hadits berikut ;
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw,” Mengimami kaum itu ( hendaknya ) orang yang lebih bisa membaca ( banyak menghapal ) Kitabulloh Ta’ala, jika mereka sama tentang bacaan, maka yang lebih mengetahui sunnah, lika mereka sama tentang sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah, jika mereka sama tentang hijrah, maka yang lebih dahulu Islam…” ( HR. Muslim ).
Dan karena itu pula maka shalat berjamaah amat dianjurkan dengan jaminan 27 derajat pahala, wallohu a’lam.
Di atas dikatakan bahwa jika imam membaca Al Qur’an berarti seolah-olah imam tersebut memberikan pelajaran, atau peringatan, atau petunjuk, dan lain-lain kepada ma,mumnya, karena itu ma,mum wajib mendengarkannya, dan sangat tidak masuk akal jika kemudian ma,mum membaca Al Qur’an yang sama atau membaca bacaan lain. Oleh sebab itu pada Hadits keterangan 2a kepada orang yang sama-sama membacca Al Qur’an bersama Rosululloh ( imam ), Rosululloh menegurnya dengan sabdanya, “ Aku mau bertanya, mengapa aku dilawan baca Qur’an ? “ Sabda Rosululloh itu nampaknya begini “ Aku yang memperingatkan kamu dengan Qur’an, kenapa kamu balik melawan dengan memperingatkan aku dengan Qur’an juga ?” Wallohu a’lam.
Para ahli piqih pendahulu banyak yang memahami keterangan 2 c dan 2 d di atas dengan kesimpulan bahwa ma’mum wajib mendengarkan apa-apa yang dibaca imam dengan nyaring yaitu Al Fatihah dan Surat Al Qur’an dengan tidak mempertimbangkan keterangan 1a, b, dan c yang menyatakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Bahkan juga menolak hadits-hadits senada yang menyatakan bahwa jika imam membaca qira’at dengan nyaring wajib didengarkan kecuali Al Fatihah ( Fatihata’l Kitab )
Adapun alasan mereka menolak keterangan-keterangan tersebut karena memandang bahwa itu bertentangan dengan Al Qur’an surat Al A’raf : 204 yang berbunyi “ Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik…” dan kedudukan hukum ayat ini tentunya lebih kuat dibandingkan hadits-hadits tersebut. Dan ayat itu dianggap amat sesuai dengan hadits-hadits keterangan 2 c dan 2 d, pendek kata mereka mempertentangkan keterangan-keterangan tersebut.
Di sini kita coba untuk tidak mempertentangkan keterangan-keterangan tersebut dengan memahaminya sebagai berikut :
Kita ketahui bahwa yang dibaca imam dengan jahr itu ada 2 bacaan yaitu Al Fatihah dan surat Al Qur’an. Pada keterangan-keterangan 1a,b, dan c telah dikatakan bahwa setiap orang wajib membaca Al Fatihah dalam shalatnya, dan mungkin ini sudah sering dibicarakan oleh Rosululloh Saw sehingga dengan keterangan 2 c dan 2 d itu Rosululloh Saw nampaknya hendak menekankan bahwa yang harus didengarkan ma’mum ( dan tidak boleh dibaca ) itu adalah surat-surat Al Qur’an lain karena dianggapnya umat sudah tahu bahwa membaca Al Fatihah itu wajib bagi siapa saja, maka dari itu Rosululloh Saw menjelaskan lebih detail atau lebih rinci dengan hadits keterangan 3 a dan 3 b yang menerangkan bahwa jangan membaca Al Qur’an apapun jika imam membaca Qur’an dengan keras atau nyaring kecuali Fatihata’l Kitab atau Umul Qur’an.
Nampaknya para ahli pendahulu kurang jeli dalam mengamati kalimat pada keterangan 3 a dan 3 b ini, dimana sebenarnya dengan keterangan tersebut Rosululloh Saw mengisyaratkan bahwa Al Fatihah dengan surat-surat Qur’an yang lain adalah dua hal yang berbeda, atau Al Fatihah adalah surat yang dikecualikan dari Qur’an, wallohu a’lam. Lalu kenapa Al Fatihah ini dibedekan dari Al Qur’an, mari kita lihat dan kita bahas perbedaannya .
Qs. Al Fatihah,
Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang menguasai hari pembalasan.
Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan.
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
( Yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, dan bukan ( jalan ) mereka yang dimurkai, dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat.
Jika kita amati surat Al Fatihah di atas, nampaklah bahwa ayat-ayat atau kalimat-kalimat itu seperti layaknya kata-kata manusia kepada Alloh Swt, padahal Al Qur’an sendiri diberikan dari Alloh kepada manusia. Nampaknya Alloh Sengaja menurunkan surat Al Fatihah ini agar manusia memuji, mengagungkan dan berdo’a kepada Alloh dengan kalimat sempurna sebelum membaca, mendengarkan, atau mempelajari Al Qur’an baik di waktu shalat maupun bukan waktu shalat.
Kemudian kita lihat surat-surat Al Qur’an lainnya dan kita bandingkan setiap kalimatnya dengan Al Fatihah,
Qs Al Baqarah : 2 & 3
“ Kitab ( Al Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, ( yaitu ) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
Qs Al Kautsar : 1-3
1. Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2.Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah ( di jalan Alloh ).
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus (dari rahmat Alloh ).
Dengan membandingkan kata demi kata pada ayat-ayat di atas dengan ayat-ayat Al Fatihah nampak sekali perbedaannya karena ayat-ayat Al Qur’an tersebut jelas sekali merupakan petunjuk, perintah dan peringatan dari Alloh Swt kepada manusia. Jadi perbedaan inilah nampaknya yang menjadi alasan mengapa Rosululloh membedakan atau mengecualikan Al Fatihah dari Al Qur’an atau surat-surat lainnya.
Sepertinya bukan hanya Rosululloh Saw saja yang membedakan atau mengecualikan Al Fatihah dengan Al Qur’an melainkan Alloh Swt pun membedakan di antara keduanya, hal ini difirmankan Alloh pada surat Al Hijr : 87,
“ Dan sesungguhnya kami teleh berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ( Al Fatihah ) dan Al Qur’an yang agung.”
Dengan mengatakan, “ ……tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Qur’an yang agung “ yang jika kita ilustrasikan dengan rumus, misalnya dikatakan, kita jumlahkan x dan y , maka nilai x dan nilai y adalah berbeda, atau sama dengan mengatakan “ diberikan kepadamu gula merah dan gula pasir kepadamu “ maka jelas berbeda antara keduanya meskipun sama-sama gula. Agar tidak meragukan mari kita coba menterjemaahkan ayat tersebut dengan ayat Al Qur’an lain dan dengan hadits shahih. Di atas telah dikatakan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk ( lihat Qs Al Baqarah : 2 & 3 ). Kemudian di ayat lain dikatakan bahwa Al Qur’an adalah pelajaran, misalnya yang tercantum pada Qs Al Qamar : 17,22, 32, dan 40 ).
Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?”
Dan masih banyak ayat yang menjelaskan bahwa Al Qur’an adalah pelajaran, atau petunjuk, atau pemberi peringatan. Sementara Rosululloh Saw menjelaskan dengan firman Alloh Swt apa itu Al Fatihah, kita lihat hadits dari Abu Hurairoh berikut ;
“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “ Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).
Jelas sekali bahwa Al Fatihah bukanlah pelajaran atau petunjuk atau peringatan kepada manusia melainkan puja dan puji serta permohonan kepada Alloh Swt. walaupun redaksinya diberikan oleh Alloh kepada Rosululloh Saw.
Dan kita lihat hadits berikut yang pernyataannya amat mirip dengan Al Qur’an surat Al Hijr : 87 tersebut di atas. Dan menurut Al Baji hadits ini menerangkan ayat tersebut.
“ Belum pernah Alloh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia menurunkan di dalam At Taurat dan tidak pula di dalam Al Injil semacam Ummu’l Qur’an, yaitu As Sab’u’l Matsani ( tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ) dan Al Qur’anu’l ‘Azhim ( Al Qur’an yang agung ) yang diberikan kepadaku. ( An Nasa’I dan Al Hakim serta dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi ).
Dengan demikian jelaslah bahwa Alloh Swt pun membedakan antara Al Fatihah dengan Al Qur’an atau surat-surat lainnya dalam kitab Al Qur’an tersebut, sehingga perintah Alloh Swt pada Qs Al Araf : 204 yang memerintahkan agar mendengarkan dan memperhatikan jika dibacakan Al Qur’an itu maksudnya jika dibacakan surat-surat dari mulai surat Al Baqarah sampai surat akhir dari kitab Al Qur’an yakni surat An Naas. Dalam shalat, Al Fatihah bukan wajib didengar dan diperhatikan melainkan wajib dibaca sesuai sabda-sabda Rosululloh Saw. Pada keterangan 1.a, b, dan c, dan 3.a, dan b .
Dalam buku soal jawab tentang Islam yang disusun oleh A Hasan seorang yang ditokohkan Islam Persatuan mempertanyakan, kapan waktunya jika ma’mum wajib membaca Al Fatihah dikala imam membaca dengan jahr atau nyaring, sebab jika imam membaca surat Qur’an dengan nyaring lalu ma’mum membaca Al Fatihah itu adalah salah, pendapat itu benar sekali, itu sesuai dengan perintah Qs Al Araf : 204. Akan tetapi untuk menentukan waktu membaca Al Fatihah bagi ma’mum ketika shalat jahr, dengan merujuk pada keterangan-keterangan dan pemahaman di atas, maka dapat kita tentukan dengan memahami isyarat dari sabda Rosululloh Saw berikut ini :
Riwayat dari Abu Hurairah :
Sesungguhnya Rosululloh Saw telah bersabda,” Dijadikan Imam tiada lain, melainkan untuk diturut dia. Karena itu kalau ia takbir hendaklah kamu takbir, dan apabila ia baca Qira’at ( Al Qur’an ) hendaklah kamu dengarkan. ( R. Lima imam kecuali At Turmudzi dan dishahihkan oleh Muslim ).
Nampaknya hadits ini disabdakan untuk menekankan bahwa ada perilaku khusus dalam tata cara shalat mengikuti imam pada shalat jahr, yaitu pada saat imam membaca Qira’at ( Al Qur’an ) ma’mum bukan menuruti atau mengikuti imam sebagaimana gerakan lain yang harus diturut melainkan harus mendengarkan bacaan imam tersebut ( Al Qur’an ). Dalam hadits tersebut Al Fatihah tidak disebutkan karena nampaknya dianggap bahwa umat sudah tahu akan kewajiban membacanya untuk semua orang ( imam dan ma’mum ) sebagaimana gerakan-gerakan lain yang tidak disebutkan yakni gerakan-gerakan yang harus diturut yaitu Al Fatihah, ruku’, bangun dari ruku’, sujud, dll.
Karana Al Fatihah itu wajib juga dibaca ma’mum, maka dalam melakukannya ma’mum membacanya bersama-sama mengikuti atau mengiringi imam di dalam hatinya atau dengan sirr karena imam itu untuk diturut, kecuali jika imam membaca Al Qur’an ( dari Qs Al Baqarah – An Naas ).
Karena Al Fatihah itu ayat-ayat puja, puji, dan do’a kepada Alloh Swt, maka jika imam dan ma’mum bersama-sama membacapun tidak akan dikatakan bahwa ma’mum melawan imam sebagaimana sabda Nabi Saw pada hadits keterangan 2.c karena kedua belah pihak sama-sama memuji, dan berdo’a kepada Alloh Swt, tidak seperti imam yang membaca Al Qur’an yang di tujukan kepada atau untuk ma’mum.
Nampaknya Al Fatihah dibaca jahr itu dimaksudkan untuk memandu seluruh ma’mum agar pada saat imam membaca Al Qur’an, semua ma’mum sudah benar- benar siap mendengarkannya dan tidak sampai terjadi ada ma’mum yang masih membaca Al Fatihah, wallohu a’lam.
Marilah kita lihat keterangan berikut ini
Beliau selesai dari suatu shalat yang didalamnya beliau mengeraskan Qira’at ( di dalam riwayat disebutkan bahwa salat itu shalat shubuh ), kemudian beliau bersabda,“Apakah diantara kamu ada yang membaca Qira’at bersamaku tadi ? “ seorang laki-laki berkata,” Benar, aku wahai Rosululloh “. Beliau bersabda,” Sesungguhnya aku mengatakan bahwa aku tidak menyelang-nyelangi di dalam Qira’at.” ( dalam hal ini ada yang mengartikan menyelang-nyelangi dan menimpalinya )…..dst. ( Malik dan Al Hamidi, Al Bukhari dalam Juz’ul Qira’at, Abu Daud dan Al Mahamili, dihasankan oleh Turmudzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim ).
Dari hadits di atas nampak bahwa dalam membaca Qira’at ( Al Qur’ an ), Rosululloh Saw tidak menyelang-nyelangi untuk tidak memberi kesempatan diikuti atau ditimpali oleh ma’mum. Sementara dalam membaca Al Fatihah sebuah hadits menerangkan sebagai berikut ;
Kemudian Rosululloh Saw membaca Al Fatihah dan memotongnya ayat demi ayat,
Bismillahir rohmaanir rihiim.
Kemudian berhenti, lalu membaca,
Alhamdu lillahirobbil ‘aalamiin.
Kemudian berhenti, lalu membaca,
Arrohmaanir rohiim.
Kemudian berhenti, lalu mengucapkan,
Maaliki yaumid diin, dan seterusnya.
( Abu Daud dan As Sahmi dan diriwayatkan oleh Abu Umar Ad Dani ).
Dengan cara membaca seperti itu mungkin mungkin Rosululloh Saw memberi kesempatan kepada ma’mum agar dapat mengatur tempo untuk mengiringi, mengikuti atau menimpali imam membaca Al Fatihah tersebut, wallohu a’lam.
Masih dalam kaitannya membaca Al Fatihah bagi ma’mum, sebenarnya masih ada beberapa hadits yang dianggap bertentangan, akan tetapi kemudian dinyatakan lemah oleh sebagian ahli fiqih, diantaranya hadits berikut ini ;
Sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda, “ Tiap-tiap sembahyang yang tidak dibaca padanya Umul Qur’an maka ia itu tidak sempurna, melainkan kalau di belakang imam “. ( R Khallal ).
Seandainya hadits ini benarpun tidak perlu dipertentangkan dalam memahaminya sebab bisa jadi sabda ini ditujukan untuk menekankan kepada orang yang belum bisa atau belum fasih dalam membaca Al Fatihah agar selalu shalat berjamaah untuk mendapatkan atau mencapai shalat yang syah dan tidak khawatir tidak diterima shalatnya, justru malah bisa belajar dengan mengikuti imam. Atau jika benar pula ada kemungkinan sabda tersebut untuk memberi jaminan syahnya shalat atau rakaat tanpa Al Fatihah bagi ma’mum yang masbuk yang tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam atau mengiringi imam, karenanya tidak perlu memaksakan untuk membaca Al Fatihah jika memang sudah terlewat kesempatan untuk membacanya sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap kewajiban lain misalnya kewajiban untuk mendengarkan bacaan Al Qur’an.
Dalam hal ini dapat diambil sebagai rujukan dari sebuah keterangan sbb;
“ Apabila seseorang di antara kamu datang untuk shalat sewaktu kami sujud, maka hendaklah kamu sujud dan jangan kamu hitung itu satu rakaat, dan barang siapa yang mendapati ruku’ bersama imam, maka ia telah mendapati satu rakaat “ ( Riwayat Abu Daud ).
Jadi, bagi orang yang sudah hafal atau bisa membaca Al Fatihah dan tepat pada kesempatannya yakni menuruti atau menimpali imam maka ia wajib membacanya. Ini menunjukkan bahwa Alloh Swt dan Rosululloh Saw tidak hendak menyulitkan umatnya, Wallohu a’lam.
Sekilas keterangan-keterangan beserta pemahaman-pemahaman tersebut di atas menjadi tampak bertolak belakang atau bertentangan, sebab satu sesi berkesimpulan bahwa membaca Al Fatihah itu wajib di setiap raka’at, tapi di sesi berikutnya berkesimpulan boleh terlewat dengan alasan tertentu, sehingga timbul pertenyaan apa maksud wajib di situ ?, untuk itu mari kita telaah makna Al Fatihah di sub judul yang lalu.