( HR Abu Daud )
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad bin Musarhad] telah menceritakan kepada
kami [Abdullah bin Daud] aku mendengar ['Ashim bin Raja bin Haiwah] menceritakan
dari [Daud bin Jamil] dari [Katsir bin Qais] ia berkata,
"Aku pernah duduk bersama Abu Ad Darda di masjid Damaskus, lalu datanglah
seorang laki-laki kepadanya dan berkata, "Wahai Abu Ad Darda, sesungguhnya aku
datang kepadamu dari kota Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena sebuah
hadits yang sampai kepadaku bahwa engkau meriwayatannya dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidaklah aku datang kecuali untuk itu." Abu Ad
Darda lalu berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam
bersabda: "Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya
sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu.
Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga
ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti
keutamaan rembulan pada malam purnama
atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa
mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." Telah menceritakan
kepada kami [Muhammad bin Al Wazir Ad Dimasyqi] telah menceritakan kepada kami
[Al Walid] ia berkata; aku berjumpa dengan [Syabib bin Syaibah] lalu ia
menceritakannya kepadaku dari [Utsman bin Abu Saudah] dari [Abu Ad Darda] dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan maknanya."
Dari rangkaian kalimat pada
hadits ini ada kalimat yang sering dikutip oleh para penceramah untuk
mengagungkan para ulama yakni kalimat;
“ Para ulama adalah pewaris para nabi, dan
para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. “
Jadi yang diberi gelar Ulama itu orang yang diberi Ilmu dan tugas menyampaikan
dari Alloh (melalui Nabi) kepada ummat.
Pesan warisan dari para nabi itu adalah,
Dan dia ( Nuh berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada
kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku
sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya
mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum
yang tidak mengetahui" (Huud ;29)
Mereka itulah orang-orang ( para Nabi ) yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat. ( Al an am: 90 )
Hai kaumku, aku( Huud ) tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini,
Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidak kah
kamu memikirkan(nya)?" ( QS Huud:51 )
Dan aku ( Nabi Shaleh ) sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak
lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 145 )
Dan aku ( Nabi Lut ) sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 164 )
Dan aku ( Nabi Syu’aib )
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Tuhan semesta alam. ( QS Asy syu’araa : 180 )
Jika yang diwariskan kepada para ulama itu hanya ilmu, maka cukuplah dikatakan bahwa
ulama adalah pewaris Nabi Muhammad Saw. karena ilmunya Nabi-nabi sebelumnya sudah
disempurnakan oleh Rosululloh Saw. dan ilmu dari Nabi Muhammad Saw. itulah (Islam )
yang harus dianut seluruh umat manusia, akan tetapi dengan memperhatikan rentetan
Ayat Al Qur;an di atas ada penugasan yang sama untuk para Nabi yaitu, menyeru manusia
dengan ilmunya untuk menganut agama Tauhid dengan tidak meminta imbalan dari ummat
yang diseru itu. Jadi para nabi itu memiliki warisan yang sama untuk para ulama
berupa amanat atau tugas dari Alloh Swt, agar menyampaikan ajaran tauhid serta
mengajak/ menyeru beriman kepada Alloh dengan tidak mengharapkan imbalan dari umatnya.
Dan agar penyebaran Islam itu lancar dan pesat serta Ikhlas dan berkah dan menjamin
agar para ulama memelihara amanat yang hendak diwariskan kepada para ulama, maka
ummatnya diberi arahan agar mengikuti orang yang tidak meminta balasan atas seruan
untuk mengikuti Islam
"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk." ( QS Yaasiin 21 )
Jadi jika ada ulama, ustadz, kyai, ustadzah dll. yang mengharap atau meminta imbalan
dari berceramah sebaiknya tidak diikuti karena sebenarnya mereka adalah orang yang tidak
mendapat petunjuk.
Dan ini nyata, penceramah model demikian sering melontarkan paham-paham munafik.
Paham-paham pesanan karena terikat dengan pemberian uang atau materi.
Wallohu’alam.
Akan tetapi dengan merujuk keterangan berikut di bawah ini, ada Sebagian ulama memperbo-
lehkan mengambil upah dari membaca Al Qur’an,
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu ‘Anhu bahwa sekelompok
sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak
mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai
suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata ‘Apakah
kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?’ Para sahabat pun
menjawab ‘Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan
meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.’ lalu mereka
pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat
membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya
(baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka
memberikan kambing. Para sahabat berkata, ‘Kami tidak akan mengambilnya, sampai
kami bertanya pada Rasulullah.’ Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut
pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: ‘Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan
berilah bagian untukku’.” (HR Bukhari)
Dalam beberapa redaksi hadits yang lain,
Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat:
“Sesungguhnya yang
paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah” (HR
Bukhari).
Menanggapi hadits di atas, salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq
al-Ghumari menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah
atas bacaan Al-Qur’an, beliau menjelaskan dalam himpunan fatwanya:
“Berdasarkan
hadits ini, dapat ditarik pemahaman bahwa mengambil upah atas membaca Al-Qur’an adalah
hal yang diperbolehkan, sebab Nabi membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai
ganti atas bacaan mantra berupa Surat Al-Fatihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing
tersebut) bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata:
‘Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah’.
Dalil ini merupakan paling kuat yang mengindikasikan pengglobalan hukum (boleh).
Sedangkan hadits;
“Bacalah Al-Qur’an, jangan menjadikannya kering, jangan menjadikannya mahal dan
jangan (mencari) makan dengan Al-Qur’an” adalah hadits yang lemah, sanadnya
terputus. Jika dikira-kirakan keshahhihan hadits tersebut, maka sesungguhnya
hadits yang telah aku jelaskan di atas lebih shahih dan lebih kuat, sebab
terdapat dalam dua kitab shahih (Bukhari Muslim), sedangkan hadits ini terdapat
dalam kitab Musnad Ahmad, sedangkan kitab musnad tidak tertentu (mencantumkan)
hadits shahih saja, tapi di dalamnya juga terdapat hadits yang lemah, seperti
halnya keterangan yang telah diketahui” (Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari,
al-Hawi fial-Fatawi al-Ghumari, hal. 36) Meski demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam kajian lintas mazhab, ulama mazhab Hanafi berpandangan berbeda.
Mereka berpendapat bahwa mengambil dan memberi upah atas bacaan Al-Qur’an
merupakan hal yang terlarang bahkan tergolong sebagai perbuatan yang
mengakibatkan dosa. Berbeda halnya menurut mazhab yang lain yang notabene
memperbolehkan hal di atas. Perbedaan pendapat ini secara sistematis disebutkan
dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: “Ulama Hanafiyah menegaskan
bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan adanya imbalan dan hal tersebut tidak
mengakibatkan wujudnya pahala, orang yang mengambil dan memberi upah sama-sama
terkena dosa.
Realita yang terjadi pada masa kita berupa membaca Al-Qur’an di
sisi kubur dan di tempat umum merupakan hal yang tidak diperbolehkan secara
syara’. Akad ijarah (Menyewa jasa) atas bacaan Al-Qur’an merupakan hal yang
batal dan hukum asal dari akad ijarah atas mengajar Al-Qur’an adalah tidak
diperbolehkan.
Dari isyarat-isyarat pemikiran itu penulis punya pandangan bahwa
mengajar membaca Al Qur’an boleh mendapatkan upah karena itu merupakan ilmu
dunia, ilmu kemampuan baca, sama artinya belajar baca huruf Arab, yang benar dan
salahnya akan nampak jelas, sementara menyampaikan ajaran dan pemahaman Al
Qur’an ataupun sunnah Nabi Saw. itu tidak boleh mengharapkan imbalan ( sikap
warisan para Nabi ) karena itu ilmunya Alloh yang benar salahnya memahami
menjadi tanggung jawab setiap diri pribadi.
Nah, banyak ustadz dan Ulama
sekarang dengan ilmu yang minimal ingin dianggap pewaris para Nabi dengan
ceramah atau dakwah untuk mendapatkan uang, bahkan sampai ditarif jika diundang
ceramah. Coba kita bayangkan jika ternyata yang disampaikan dalam ceramahnya
adalah ilmu bid’ah atau ilmu dengan pemahaman yang salah misalnya.
Apalagi dibumbui doktrin “ jangan ikuti pendapat si X karena gurunya tidak jelas, jangan
ikuti paham kelompok Y “ padahal mereka yang menerangkan Al Qur’an dan Sunnah
Nabi Saw. misalnya yang tidak mustahil pada mereka itu ada ilmu yang benar yang
mengoreksi kesalahan ilmunya dia. Jika seperti itu bisa jadi dosa- dosa umat
yang mengamalkan ilmu yang salah dan tidak diperbaiki karena mengikuti seruan
ulama itu akan menjadi dosa ulama itu sendiri, rugi sekali itu.
Wallohu ‘alam
Semoga bermanfaat.