Translate

Tuesday 7 September 2010

Golongan yang masuk surga dari 73 golongan


        

Apakah perbedaan ( perselisihan ) paham itu rahmat atau sesat ?
           
Sering kita dengar ungkapan “ perbedaan umat itu adalah rahmat “ dimana sebagian orang mengungkapkan bahwa hal tersebut ada keterangannya berupa Hadits, akan tetapi sebenarnya banyak juga orang yang menentang ungkapan tersebut dan menyatakan ungkapan tersebut tidak benar dengan berbagai alasan.
Adapun alasan-alasan mereka yang menentang hal tersebut adalah sebagai berikut:
 1.  Dikatakan bahwa hadits ” Perselisihan ( perbedaan paham )       umatku   adalah                        rahmat ”itu tidak sah, bahkan batal karena hadits tersebut tidak ada sumbernya.
2. Sesungguhnya hadits itu disamping dhoif, juga menyalahi Al Qur’an karena                           banyak ayat yang melarang berselisih dalam agama, misalnya QS 8 Al Anfal: 46       
“ Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, nanti kamu jadi lemah dan hilang kekuatanmu “. 
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.                                     
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.  (  QS 11 Huud: 118-119 ).

3. Tidak benar ada perselisihan atau perbedaan, karena haq ( kebenaran ) itu hanya satu, tidak mungkin dua pendapat yang bertentangan  kedua-duanya benar.
Jika kita telaah, kalimat “ perbedaan atau perselisihan paham umatku adalah rahmat “ nampak bahwa kalimat tersebut bersifat informative dan tidak dituntut tindak lanjut suatu amalan ibadah yang sifatnya dilakukan dengan sengaja, seperti shalat sunnat misalnya, karena dianjurkan maka kita dapat melakukan shalat sunat tersebut lalu kita mengharapkan pahala kelak. Akan tetapi dengan keterangan tersebut di atas tidak bisa kemudian kita membuat perbedaan-perbedaan atau perselisihan paham untuk mendapatkan rahmat.
Dari argumen-argumen perdebatan di atas nampaknya kita mendapatkan titik terang untuk menengahi pendapat-pendapat tersebut yang biasanya jalan tengah itulah yang benar dan diterima oleh kedua belah pihak, yakni dengan memahaminya seolah-olah keterangan tersebut menginformasikan bahwa pada perbedaan atau perselisihan paham umat itu ada unsur rahmat dari Alloh  Swt . Jika benar pada unsur perbedaan atau perselisihan paham umat itu ada atau mengandung unsur rahmat dari Alloh Swt , maka , tidak perlu diperdebatkan lagi apakah keterangan tersebut berasal dari Rosululloh Saw atau bukan , karena kita tidak perlu menentukan hukum apakah perbedaan atau perselisihan paham umat itu sunnat, atau wajib, atau haram.
Dengan mengabaikan apakah keterangan tersebut di atas itu dari Rosululloh atau bukan, mari kita telaah apakah dari perbedaan atau perselisihan paham umat itu ada atau mengandung unsur rahmat dari Alloh Swt atau tidak, untuk itu kita ibaratkan dengan suatu ilustrasi sebagai berikut:
Ada sebuah mesjid dengan sekelompok jamaahnya ( jamaah A ) dimana mereka melaksanakan setiap shalatnya dengan cara tertentu, kerena mereka merasa yakin bahwa menurut pemahamannya dari beberapa keterangan bahwa Rosululloh Saw mencontohkan shalat seperti shalatnya yang mereka lakukan . Kemudian mereka mengetahui bahwa di mesjid sebelahnya terdapat sekelompok jamaah ( jamaah B ) yang selalu melaksanakan shalatnya dengan cara yang berbeda dengan cara shalat yang biasa mereka lakukan .                             
         Kemudian pada suatu kesempatan jamaah A berkunjung ke jamaah B untuk berdiskusi tentang  cara shalat yang berbeda tersebut, tentunya dengan persiapan keterangan-keterangan yang mereka yakini kebenarannya, kemudian mereka saling mengemukakan pendapat dan saling berdebat. Pada saat berdebat , tentunya kedua belah pihak saling berpikir semampunya         ( maka mereka berijtihad dan mendapat pahala ). Kemudian jika Alloh menghendaki, ada kemungkinan ditemukan suatu pemahaman yang lebih mendekati kebenaran di antara kedua paham yang berbeda tersebut  ( berarti pahala dua bagi mereka ). Atau jika diantara kedua paham tersebut salah satunya sudah benar, maka ada kemungkinan salah satu kelompok jamaah mendapatkan ilmu yang benar dan terhindar dari kesesatan, dan fihak lain telah berdakwah dengan ilmu yang benar pula serta mengangkat umat dari kesesatan, maka diantara mereka berlimpah pahala. Lalu apakah yang demikian bukan rahmat ?.
Kiranya hal sepertri demikianlah yang dimaksudkan dengan ungkapan “ perbedaan atau perselisihan paham umatku adalah rahmat “. Dan nampaknya kejadian seperti demikian hanya akan terjadi di antara orang-orang yang diberi rahmat yakni kesabaran, tawakal, dan berilmu, sebagai mana firman Alloh pada QS 11 Huud : 118 – 119
…tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang   diberi rahmat oleh Tuhanmu “.    

Akan lain ceritanya jika hal tersebut terjadi diantara orang-orang yang tidak mendapatkan rahmat, yakni kepada orang-orang yang selalu berdebat dengan emosinya, yang selalu bersikukuh mempertahankan pendapat atau pendiriannya dengan tidak mempergunakan akalnya sedikitpun untuk mencerna pendapat orang lain, dan mereka menolak mentah-mentah pendapat orang lain dan menganggap dirinya paling benar.
Yang kemudian menjadi hal yang sangat memprihatinkan adalah terbentuknya kelompok-kelompok atas dasar perbedaan pemahaman ajaran Islam .Dan membiarkan kelompoknya berbeda ajaran Islamnya dengan orang lain. Maka kondisi demikianlah nampaknya yang dikatakan bahwa “ perselisihan atau perbedaan paham umat adalah sesat “. Karena seperti diungkapkan di muka bahwa yang haq itu satu, dan tidak mungkin dua pendapat yang bertentangan dua-duanya benar. Oleh karena itu maka harus ada upaya yang bersifat terus-menerus dari setiap umat untuk mempersatukan paham-paham yang ada.
Firman Alloh SWT, QS Ali Imron :103 :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali ( Agama ) Alloh dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu ( masa jahiliyah ) bermusuh-musuhan maka Alloh menjinakkan antara hatimu, menjadilah kamu karena ni’mat Alloh orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk “. 

QS Ali Imron : 105
                
“ Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan     berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat “

QS ArRuum : 31 & 32
dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. 

 Kita harus menjadikan Al Qur’an ini sebagai pelajaran, oleh karena itu jangan umat Islam ini terpecah-pecah hanya karena perbedaan pemahaman, sebab jelas sekali bagai mana konsep Islam dalam menghadapi perbedaan paham . Kita lihat firman Alloh Swt berikut ini:
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya  ( terserah ) kepada Alloh ( yang mempunyai sifat-sifat demikian ) itulah Alloh Tuhanku, kepadaNyalah aku bertawakal dan kepadanyalah aku kembali “. (QS Asy Syura: 10 )

Dengan ayat-ayat tersebut jelas sekali bahwa perselisihan paham jangan kemudian ditindak lanjuti dengan pengelompokan umat sekalipun perselisihan paham itu sampai menemui jalan buntu dan belum ada titik temu, serahkan saja putusannya kepada Alloh dengan tetap tidak membentuk kelompok-kelompok agar suatu waktu ada kesempatan untuk dibicarakan lagi dan hal tersebut menjadi rahmat sehingga ditemukan yang haq, meskipun pada kurun waktu yang tidak terbatas. Akan tetapi sebaliknya, dengan terjadinya pengelompokan umat kemungkinan perselisihan atau perbedaan paham umat menjadi rahmat itu akan tertutup, karena dengan pengelompokan tersebut tercipta suatu sekat atau jarak yang mengakibatkan umat menjadi saling enggan membicarakan perbedaan paham tersebut secara baik-baik dan hanya akan menimbulkan berbantah-bantahan yang terlarang.
Bahkan pada Qs Ar Ruum: 31 & 32 tersebut di atas, orang-orang yang memecah belah agama menjadi beberapa golongan dan membangga-banggakan apa yang ada pada golongannya tersebut dikatagorikan sebagai orang-orang musrik. Kenapa orang-orang tersebut dikatakan musrik padahal setiap golongan tetap menganggap Tuhannya satu ?. Jawabnya adalah, karena setiap golongan akan beranggapan bahwa Alloh Swt. akan berpihak pada golongannya, dan akan menghukum umat yang berbeda ajarannya dengan kelompoknya, maka jika Islam menjadi 72 golongan dimana setiap golongan meyakini bahwa Alloh Swt. berpihak pada golongannya maka bisa berarti bahwa Tuhan itu ada 72 Alloh, maka pantaslah jika mereka itu digolongkan sebagai kaum yang mempersekutukan Alloh, Wallohu a’lam
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa Islam saya berbeda dengan Islam orang lain, mesjid saya bukan mesjid jamaah lain, ustadz saya bukan ustadz jamaah lain, perhitungan 1 syawal saya berbeda dengan perhitungan 1 syawal jamaah lain, lalu  jamaahnya memisahkan diri dari umat islam lain, maka dikhawatirkan bahwa ia adalah sesat. Wallohu a’lam.






         Golongan yang masuk surga dari 73 golongan

Dengan keterangan-keterangan tersebut juga terkuaklah rahasia golongan mana yang masuk surga dari 73 golongan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda nabi Saw sebagai berikut,

"Yahudi telah berpecah belah kedalam 71 atau 72 golongan. Nasrani pun telah berpecah belah ke dalam 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan." (HR Abu Dawud di dalam Sunannya, bab As-Sunnah, Bab Syarhussunnah).
 

"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya ummatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah."( Ibnu Majah )

 
QS Ali Imron : 105
                
“ Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan     berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat “

Jika dalam Al Qur’an dikatakan “ jangan .melakukan sesuatu hal…” maka hal tersebut menjadi haram hukumnya jika dilakukan oleh umat, maka orang-orang yang melakukan cerai-berai berarti telah melakukan sesuatu hal yang haram, maka ia telah berdosa. Kemudian  pada Qs Ar Ruum: 31 & 32 tersebut di atas, orang-orang yang memecah belah agama menjadi beberapa golongan dan membangga-banggakan apa yang ada pada golongannya tersebut dikatagorikan sebagai orang-orang musrik. Apakah orang musrik akan masuk surga ? tentu saja tidak. Jadi golongan yang akan masuk surga adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Al Qur’an dan sunah Rosululloh Saw dan termasuk diantaranya tidak membentuk golongan Islam, dan tidak pernah mengakui adanya golongan-golongan dalam Islam itu sendiri, atau tidak pernah menghindarkan diri dari kelompok Islam manapun jika mereka membuat golongan-golongan Islam.
Walaupun sudah begitu jelasnya ancaman Alloh Swt dan ancaman Rosululloh Saw terhadap orang-orang yang memecah belah agama, namun tetap saja kelompok-kelompok agama tersebut dipertahankan dengan berbagai macam dalih pembenaran, dan dengan  kelompoknya berangan-angan menjadi golongan yang satu,  yang akan masuk surga.
Memang ada hadits yang dinilai sahih oleh pakar hadits Al Hakim, yang membuat ancaman atau larangan mengelompokkan agama tersebut menjadi samar. Yakni hadits riwayat dari Ibn an Najjar, dari Anas ra, bahwa Nabi bersabda ;

“ Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh sekian kelompok, semuanya di surga kecuali  az-Zanadiqah ( yang mengakui adanya dua tuhan         ( musrik)).

Jika hadits ini benar-benar shahih, lalu apakah berarti Rosululloh Saw.plin plan ?, dan apakah umat yang mengelompokkan agama setelah dikatakan musrik pada Qs Ar Ruum : 31 & 32, kemudian akan masuk surga ? rasanya tidak demikian.
Menurut pemahaman penyusun, jika kedua hadits yang sepintas nampak bertentangan ini keduanya sahih dan berarti kedua keterangan tersebut pernah diucapkan Rosululloh Saw. maka berarti bahwa umat Rosululloh Saw. yang masuk neraka itu berkelompok-kelompok sebanyak 72 kelompok dan umat Rosululloh Saw. yang masuk surgapun berkelompok-kelompok sebanyak 70 sekian kelompok. Tentu saja kelompok-kelompok yang masuk neraka dan kelompok-kelompok yang masuk surga itu keduanya berbeda jenis atau motif pengelompokannya.
Jelas sekali kelompok-kelompok yang masuk neraka adalah kelompok-kelompok yang menggolongkan agama, karena mereka adalah termasuk musrik sebagaimana difirmankan Alloh Swt. di Qs Ar Ruum : 31 & 32 dan diisyaratkan oleh Rosululloh Saw.pada hadits tersebut di atas sebagai az – Zanadiqah.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa yang menggolongkan agama itu adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang mengatakan bahwa islam kami berbeda dengan islam umat lain, Shalat kami berbeda dengan Shalat umat lain, mesjid kami bukan mesjid umat lain, ustadz kami bukan ustadz jama’ah lain, perhitungan 1 syawal kami berbeda dengan perhitungan 1 syawal umat lain, dan lain-lain. Wallohu a’lam.
Dengan demikian kelompok-kelompok yang masuk surga bukanlah kolompok-kelompok seperti demikian. Lalu kelompok seperti apa ? memang belum diketemukan keterangan untuk hal ini, namun jika boleh mengira-ngira mungkin saja kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok-kelompok yang berperang di jalan Alloh, kelompok-kelompok yang bersama-sama memberantas kemaksiatan diseluruh kota misalnya, kelompok-kelompok yang bersama-sama berusaha menegakkan keadilan, kelompok-kelompok yang berusaha bersama-sama memilih pemimpin yang shaleh dan amanah,  dan lain-lain. Wallohu a’lam.





Tuesday 3 August 2010

Wudlu mungkin salah satu perumpamaan

Qs Al Baqoroh: 26 berikut;

“ Sesungguhnya Alloh tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, Apakah maksud Alloh menjadikan ini untuk perumpamaan?. Dengan perumpaan ini banyak orang yang disesatkan Alloh dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Alloh kecuali orang-orang yang fasik”.

Juga disebutkan di ayat lain yaitu pada Qs Ar Ruum: 58

“ Dan sesungguhnya telah kami buat dalam Al Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan……”

     Setelah membaca uraian di atas, tentunya kita merasa takut kalau-kalau kita menjadi orang-orang yang disesatkan dengan perumpamaan itu. Karena itu langkah berikutnya penulis ingin mengajak pembaca untuk mengkaji ulang, memikirkan kembali apakah ibadah-ibadah kita sudah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an yang banyak memuat perumpamaan itu ?
     Menurut pendapat penulis, apabila Alloh Swt memerintah dengan bahasa perumpamaan maka apa yang dimaksud dengan perumpaan itu harus kita capai atau kita laksanakan, itu baru ibadah yang akan diterima Alloh Swt. Dan apa bila hanya melakukan perumpamaanya saja jangan-jangan itu termasuk yang disesatkan seperti yang diungkapkan pada Qs Al Baqoroh : 26 tersebut di atas, maka nilai ibadah kita hanya sebatas niat dan itikad baik saja sedangkan yang lainnya mubah, atau bahkan jangan-jangan menjadi dosa karena termasuk kesesatan. Wallohu a’lam.
     Untuk memulai mengkaji ulang ibadah-ibadah kita, terlebih dahulu kita harus mencermati referensi yang benjadi dasar petunjuk atau perintah atau isyarat yang mengharuskan kita untuk melakukan suatu ibadah, misalnya saja perintah berwudlu, bagaimana dasar perintahnya, lalu kita cermati apa maksud dari berwudlu itu, apa tujuannya, kemudian harus bagaimana kita melaksanakannya, dan bagaimana pula kita harus melakukan shalat yang benar, dan seterusnya.
      Untuk mengetahui hal tersebut kita harus cermati dengan seksama isyarat-isyarat perintahnya atau petunjuknya dari Al Qur’an dan keterangan atau conto-contoh Rosululloh Saw yang tentunya beliau juga akrab dengan perumpamaan-perumpamaan, karena beliaulah yang menyampaikan Al Qur’an yang memuat banyak perumpamaan tersebut. Untuk itu penulis akan mengajukan pemikiran awal tentang beberapa masalah, lalu pembaca ikut memikirkannya sehingga mendapat nilai ibadah ( pahala) dari ijtihad dan kita tidak termasuk yang disesatkan dengan perumpamaan apapun. Amin.


       Para ulama mempelajari masalah berwudlu dan hal-hal yang bersangkut paut dengan berwudlu tersebut tentunya dari hadits-hadits Rosululloh Saw, sementara pada hadits-hadits tersebut kadang-kadang terdapat pengungkapan-pengungkapan yang sekilas nampak seperti ada perbedaan atau saling bertolak belakang, sehingga kadang-kadang umat menjadi bingung harus mengikuti yang mana, karena pada akhirnya para ulama memberikan ajaran yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lainnya.
Mungkin sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi karena berawal dari satu sumber yaitu Rosululloh Saw.
Karena hal demikian penulis akhirnya merasa penasaran untuk menelusuri masalah-masalah demikian.

    Untuk itu kita lihat sumber perintah berwudlu yaitu Qs Al Maidah : 6

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan lalu tidak memperoleh air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih ); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Alloh tidak hendak menyulitkanmu itu tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu supaya kamu bersyukur “

     Untuk mengambil kesimpulan dalam mengambil pelajaran dan petunjuk dalam ayat tersebut kita harus mempertimbangkan keterangan dari ayat yang telah dipaparkan sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam Al Qur’an itu banyak memuat perumpamaan, maka apakah pada ayat tersebut di atas mengandung unsur perumpamaan atau tidak? Jika dalam ayat tersebut memang ada perumpamaan, lalu untuk apa Alloh Swt membuat perumpamaan itu dan apa yang diumpamakanNya itu. Untuk itu kita lihat Qs Ibrahim: 25

“…..Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat ”.
  
      Kemudian kita lihat kembali Qs Almaidah : 6 di atas, apakah ada kecenderungan kepada perumpamaan atau tidak
  
“……apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu,……Alloh hendak membersihkan kamu…”

di sini ada kesan sepintas bahwa kata “…hendak membersihkan …” itu berarti membersihkan wujud lahiriah dari anggota tubuh yang dibasuh karena air itu identik dengan cuci-mencuci, akan tetapi kenapa tidak dikatakan “ …maka cucilah mukamu…” dan seterusnya. Kemudian jika tidak ada air, maka sebagai ganti berwudlu diperintahkan bertayamum dengan tanah yang baik, kita tahu bahwa debu tanah tidak punya sifat membersihkan lahiriah dari suatu kotoran, apa lagi cara bertayamum yang hanya menyentuhkan kedua telapak tangan pada tanah kemudian ditepukkan lalu diusapkan atau disapukan pada muka dan lengan, disitu tidak nampak upaya membersihkan lahiriah dari muka dan tangan, sebab apabila hendak membersihkan lahiriah anggota badan yang diusap nampaknya lebih baik yang dipakai sebagai media bertayamum itu lap yang dianggap bersih misalnya. Akan tetapi walaupun demikian tetap saja Alloh Swt mengatakan dalam firmannya “ …hendak membersihkan kamu…”
      Selain dari pada itu ada beberapa hadits yang menerangkan berwudlu di mana pada saat membasuh kedua kaki hanya mengusap bagian atas dari kaus kaki yang dikenakan, misalnya 

Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Saya pernah bersama Nabi Saw lalu ia berwudlu lantas saya tunduk untuk membukakan dua sarung kakinya, maka sabdanya,” Biarkanlah keduanya karena aku masukkan kedua-duanya di dalam keadaan ( kakiku ) kedua-duanya bersih”, lalu ia usap atas kedua-duanya . ( Mutafak Alaih )

      Pada Hadits tersebut dikatakan bahwa kedua kaki Nabi Saw itu bersih, tapi kenapa Nabi Saw mengusap kaus kakinya ?. Maka dengan demikian jelaslah bahwa wudlu bukan upaya membersihkan lahiriah dari anggota badan yang dibasuh. Lalu wudlu yang diisyaratkan Alloh pada Qs Almaidah: 6 tersebut merupakan upaya untuk membersihkan apa jika demikian ?. Untuk mengungkap hal tersebut kita harus melihat keterangan lain, kita lihat hadits berikut:

Dari Umar bin Khaththab, ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw ;
“ Tiadaklah seseorang dari pada kamu berwudlu lalu ia sempurnakan wudlunya kemudian ia berkata, Aku mengaku bahwasannya tidak ada tuhan sembarang Tuhan ( yang layak disembah ) melainkan Alloh sendiriNya, tidak ada sekutu bagiNya dan aku mengaku bahwasannya Muhammad itu hambaNya dan pesuruhNya; melainkan dibukakan baginya pintu-pintu syurga yang delapan yang ia bisa masuk dari yang mana saja ia kehendaki “ ( dikeluarkan oleh Muslim & Tirmidzi ).
Dan Tirmidzi tambahkan,
“ Hai Tuhan jadikanlah aku dari orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku daripada orang-orang yang bersih ( dari dosa-dosa )”. ( Akan tetapi Tirmidzi katakana bahwa hadits tersebut do’if ) akan tetapi rasanya keterangan tersebut dikuatkan dengan pernyataan Rosululloh dengan hadits di atas, sebab dengan dibukakan pintu-pintu syurga bagi seseorang berarti ia sudah bebas dari segala dosa, juga diperkuat dengan sabda Rosululloh berikut ini.

Rosululloh Saw bersabda :
“ Tidaklah seorang muslim berwudlu dan membaguskan wudlunya kemudian melaksanakan shalat, kecuali Alloh mengampuni dosanya antara shalat ketika itu dan shalat yang selanjutnya “. ( HR Muslim dari Humran Maulana Utsman ).

        Dari kedua hadits tersebut di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa perintah membasuh muka, lengan dan sebagainya yang diartikan sebagai berwudlu itu adalah merupakan symbol yang dibuat Alloh Swt. agar manusia selalu mengingatnya bahwa bagian tubuh yang dibasuh adalah anggota badan yang sangat dominan melakukan atau mendukung melakukan perbuatan dosa. Karena itu apa yang dikatakan pada Qs Al Maidah: 6 bahwa “ …Alloh hendak membersihkan kamu…” adalah membersihkan diri dari dosa-dosa, maksudnya Alloh membuat aturan atau perintah itu agar manusia yang beriman bersih dari dosa. Ini sangat sejalan dengan kedua hadits tersebut di atas. Wallohu a’lam.


      Dengan mengacu pada keterangan-keterangan tersebut di atas maka kita mendapatkan pelajaran bagaimana kita harus berwudlu dengan benar yang kiranya sesuai dengan yang diharapkan oleh Alloh Swt. dan Rosululloh Saw. Dalam hal ini penulis mendapat pelajaran dengan memahaminya sebagai berikut; Bahwa pada saat berwudlu, pada setiap membasuh anggota tubuh yang harus dibasuh kita harus mengingat-ingat dosa apa yang pernah dilakukan untuk kemudian memohon ampunan kepada Alloh dan bertaubat dengan itikad untuk berusaha tidak mengulangi hal yang sama ( dosa ) sampai shalat berikutnya. Setelah berwudlu kemudian berdo’a memohon dijadikan orang yang bertaubat dan bersih dari dosa-dosa seperti diungkapkan pada hadits tersebut di atas, kemudian shalat, di mana pada salat tersebut kita diwajibkan membaca Al Faatihah yang di dalamnya terdapat do’a;

“ Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus yaitu jalannya orang-orang yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat “.

Maka apabila kita sungguh-sungguh melaksanakan makna-makna diatas insya Alloh kita akan mendapatkan jaminan Alloh Swt. yang dicantumkan dalam Qs Al Ankabuut : 45 sebagai berikut ;

“ …sesungguhnya shalat itu mencegah dari ( perbuatan-perbuatan ) keji dan mungkar “.

Sementara itu kesempurnaan shalat tidak tercapai tanpa kesempurnaan wudlu, hal ini tercermin pada sabda Rosululloh Saw dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra :

“… apabila kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudlu, lalu…”

Penulis berharap agar pembaca tidak percaya begitu saja, akan tetapi ikut memikirkan kebenarannya agar kita mendapatkan nilai pahala dari ijtihad dan tergolong orang-orang yang berakal, Amin.


Hal yang membatalkan wudlu

      Pembaca yang budiman, apabila pembaca sepakat dan telah berkesimpulan bahwa wudlu adalah upaya membersihkan diri dari dosa dengan bertaubat kepada Alloh Swt. Dan apabila memang hal seperti itulah yang dikehendaki Alloh, maka kita dapat menarik kesimpulan pula bagaimana sifat-sifat atau apa yang dimaksud dengan hal yang membatalkan wudlu, tentunya yang bersifat kebalikan dari tujuan berwudlu yaitu hal-hal yang mengakibatkan dosa.
Sekarang mari kita lihat lagi Qs Al Maidah: 6

“…atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan lalu kamu tidakmemperoleh air maka bertayamumlah……” 


Ini mengisyaratkan bahwa buang air dan menyentuh perempuan adalah hal yang membatalkan wudlu dan berarti pula bahwa hal-hal tersebut ada kecenderungan kepada dosa. Dimanakah letek kecenderungannya ?
Mengenai buang air itu bisa menimbulkan dosa dari dua sisi, satu sisi menyangkut air seni atau tinja adalah najis sehingga orang harus hati-hati dengan kedua benda tersebut sehingga tidak mengotori diri sendiri atau orang lain atau mengotori sesuatu milik orang lain atau milik sendiri terlebih sesuatu yang terbawa shalat. Kaitannya dengan hal tersebut Rosululloh Saw pernah bersabda:

Dari Abu Hurairoh ia berkata,“ Telah bersabda Rosululloh Saw, bersucilah dari kencing karena umumnya adzab kubur adalah dengan sebabnya “ diriwayatkan oleh Daraquthni.

Sisi lain adalah cara buang air atau tempat buang airnya bisa menjadi pelanggaran terhadap norma kesopanan jika dilakukan secara sembarangan misalnya dilakukan di tempat terbuka atau tempat-tempat umum, mengingat kedua benda tersebut berbau tidak sedap dan menyangkut aurat atau jenis kelamin, sehingga Rosululloh Saw memperingatkan umat dengan sabdanya sebagai berikut:

Dari Abu Hurairoh ia berkata,” Telah bersabda Rosululloh Saw, jauhilah ( perbuatan ) dua orang yang menyebabkan laknat ( yaitu ) yang buang air di jalan manusia atau di perteduhan mereka. ( HR Muslim ).

        Bagaimana halnya dengan kentut ?. Kita tahu kentut tidak mengeluarkan benda najis dan hanya mengeluarkan gas berbau tidak sedap pada umumnya sehingga kita tidak perlu mencuci tempat keluarnya setelahnya sehingga dirasakan kecenderungan dosanya amat kecil, namun jika dilakukan sembarangan misalnya di tempat orang berkerumun atau di dekat orang lain itu termasuk pelanggaran terhadap norma kesopanan sehingga apabila dilakukan dengan sengaja waktu shalat ( di hadapan Alloh Swt ) maka akan dipandang sangat tidak sopan. Karena itu untuk mencegahnya maka kentut membatalkan wudlu, Wallohu a’lam.

      Sekarang bagaimana dengan menyentuh perempuan, yang mana dalam hal ini terdapat dua pendapat yang berbeda karena beda penafsiran kata ” menyetuh perempuan “ ( Qs Al Maidah : 6 ), ada yang menafsirkannya menyentuh biasa dengan tangan atau dengan anggota tubuh lainnya dan ada pula yang menafsirkannya sebagai menyetubuhi perempuan. Perbedaan penfsiran ini dipengaruhi oleh Hadits-hadits yang sifatnya seolah-olah bertentangan dengan kata-kata dari ayat Al Qur’an tadi yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah bersentuhan dengan Aisyah ketika sedang shalat, dan hadits-hadits lain misalnya hadits berikut ini:

Dari Aisyah, sesungguhnya Rosululloh Saw telah menciumnya sedangkan beliau sedang berpuasa, kemudian beliau mengatakan “ sesungguhnya mencium itu tidak membatalkan wudlu dan tidak membatalkan puasa “ Diriwayatkan oleh Ishak bin Rahaiwah dan dikeluarkan pula oleh Al Bazzar dengan sanad yang shahih.

Imam Asy Syafii mengatakan bahwa apabila hadits tersebut shahih maka beliau berpendapat tidak ada wudlu karena mencium wanita atau menyentuhnya. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat imam Asy Syafi’I tersebut dengan syarat tambahan menjadi tidak ada wudlu karena mencium atau menyentuh wanita yang menjadi istri sendiri, dan tentunya harus berwudlu apabila menyentuh wanita lain mengingat esensi berwudlu tadi adalah membersihkan diri dari dosa, sementara menyentuh atau menyentuhkan diri pada wanita bukan muhrim ada kecenderungan mendekatkan diri pada zina dan itu adalah dosa.
Jadi kesimpulannya menyentuh atau menyentuhkan diri pada wanita atau sebaliknya wanita kepada laki-laki ( bukan tersentuh atau bersentuhan yang tidak sengaja ) adalah membatalkan wudlu kecuali pada suami atau istri, dengan demikian tidak terdapat pertentangan antara Al Qur’an dan perilaku-perilaku Nabi Saw, wallohu a’lam

       Berikutnya ada dua buah hadits tentang hal yang membatalkan wudlu yakni tentang menyentuh dzakar dimana jika kita pahami sepintas nampak seperti berlawanan di antara keduanya, lalu para ulama menyimpulkan bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudlu, akan tetapi dianjurkan berwudlu kalau mau. Untuk lebih jelasnya kita lihat kedua hadits berikut :

       Dari Busrah bin Shofwan, sesungguhnya Rosululloh pernah bersabda, “ Siapa yang menyentuh dzakarnya hendaklah ia berwudlu “ ( diriwayatkan oleh Lima Imam dan dinyatakan shahih oleh At Turmidzi dan Ibnu Hibban ). Menurut Al Bukhari hadits ini adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini. ( Sublu Al-Salam I )
Dan masih ada hadits-hadits lain yang senada. Sementara itu hadits yang nampak seperti bertentangan dengan hadits di atas adalah hadits dari Thalak Bin Ali ra berikut ini;

       Dari Thalak bin Ali, ia berkata, “Telah berkata seorang laki-laki ; Aku menyentuh dzakarku, atau ia ( rawi ) berkata bahwa seorang laki-laki menyentuh dzakarnya pada waktu shalat. Apakah ia harus berwudlu ?, lalu Nabi bersabda, “ Tidak! Sesungguhnya dzakar itu bagian dari tubuhmu “. Diriwayatkan oleh Lima Imam dan dinyatakan shahih ole Ibnu Hibban dan menurut Ibnu Al Madani hadits ini lebih baik dari pada hadits Busrah. ( Bulughu Al Maram I ).

        Dikatakan bahwa kedua hadits tersebut adalah shahih, sementara pernyataannya sepintas nampak bertentangan, tapi jika kita pikirkan rasa-rasanya kecil kemungkinan jika Rosululloh berpendirian plin-plan atau berubah-ubah, atau membuat pernyataan yang sifatnya sembarangan . Jadi menurut penulis hanya satu kemungkinan yang mungkin terjadi pada kedua hadits yang nampaknya bertentangan tersebut yaitu kedua hadits tersebut dimaksudkan untuk membatasi dua kondisi yang berbeda walaupun predikatnya sama yakni menyentuh dzakar.
     
        Dengan cara pandang demikian akan nampak bahwa kedua hadits tersebut tidaklah bertentangan, dengan memahami kedua hadits tersebut sebagai berikut;
Hadits pertama dari Busrah ra adalah pernyataan secara umum, dan hadits kedua dari Thalaq bin Ali ra merupakan penjelasan yang bersifat pengecualian, sehingga sabda Rosululloh tersebut seolah-olah begini ;
“ Barang siapa menyentuh dzakar/kemaluan hendaklah ia berwudlu, kecuali menyentuh dzakar/kemaluan karena ada keperluan tertentu, misalnya ada gatal, sakit, atau ada binatang kecil, yang mengganggu khusyunya shalat.”
Sementara, Rosululloh Saw mengatakan bahwa dzakar itu hanyalah sepotong daging milikmu, nampaknya mengisyaratkan bahwa batalnya menyentuh dzakar itu bukan karena najis atau kotor dan lain-lain.

       Maka, rasanya tepat apabila persoalan tersebut dibahas dengan prinsip bahwa hal yang membatalkan wudlu adalah hal yang akan menimbulkan dosa, dimana dosa yang mungkin ditimbulkan oleh dzakar adalah nafsu sex yang tidak terkendali (zina) dan itu harus dijaga, seperti diisyaratkan pada firman Alloh dalam Qs Al Mu’minun: 1-7


“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas “.

       Dalam ayat lain ada menerangkan bahwa Alloh Swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

        Penulis melihat pada hadits yang kedua di atas tampak kebijaksanaan dan kehati-hatian Rosululloh Saw dalam menyampaikan ajaran, karena nampaknya yang hendak dilarang atau dibatasi adalah iseng-iseng atau sembarangan menyentuh atau mempermainkan dzakar atau alat kemaluan, lalu dikhawatirkan terangsang dan mengumbar sembarangan nafsu kemaluannya atau syahwatnya sehingga “ mencari yang di balik itu “ seperti yang disebutkan pada ayat-ayat Al Qur’an di atas. Sementara Rosululloh Saw ada kemungkinan memandang pada saat orang habis berwudlu dan dalam keadaan shalat atau segera akan melaksanakan shalat tidak mungkin melakukan macam-macam atau iseng-iseng mempermainkan dzakar dan memikirkan sex, akan tetapi Rosululloh justru lebih cenderung memperkirakan orang tersebut menyentuh dzakar karena ada keperluan tertentu seperti telah disebutkan di atas, wallohu a’lam.
Masih menanggapi isyarat perintah Alloh dalam Qs Al Maaidah : 6

“ …..dan jika junub maka mandilah…..”

       Apabila Alloh Swt hendak membersihkan lahiriah ( tubuh ) kita, rasanya itu tidak beralasan, misalnya hanya karena keluar mani saja akan tetapi kita diharuskan mandi hingga mengguyur kepala dengan air tiga kali, apa maksud dari semua itu ? padahal jika dicuci saja pada kemaluannya dan daerah yang terkena mani tersebut hingga bersih maka bereslah sudah. Rosululloh tidak menerangkan secara detail dan Alloh Swt mengharapkan hal-hal tersebut menjadi pelajaran bagi manusia. Apabila kita melihat susunan kata-kata Qs Al Maaidah : 6 tersebut, kata-kata “ ……jika kamu junub ……” itu ditempatkan setelah menerangkan berwudlu yang mana sifat dari wudlu tersebut hanya membasuh beberapa bagian tubuh dengan air, sementara jika junub harus mandi. Dengan gaya bahasa klimaks, ini memberikan kesan bahwa junub lebih besar masalahnya dari hal-hal yang membatalkan wudlu.              

       Jadi isayarat apa yang dimaksud Alloh Swt apabila mandi karena junub ini dianggap suatu isyarat yang bersifat perumpamaan ? Di atas dikatakan bahwa jika mandi junub itu untuk membersihkan lahiriah anggota tubuh itu tidak beralasan, maka kemungkinan lain itu bisa berarti merupakan upaya membersihkan diri dari dosa yang berhubungan erat dengan penyebab junub yaitu mengumbar syahwat ( zina ). Junub adalah puncaknya syahwat, maka dengan gaya bahasa klimaks tadi mengisyaratkan yang mengundang syahwat yaitu menyentuh dzakar dengan iseng-iseng, dan menyentuh perempuan selain istri dan bukan muhrim harus wudlu ( ini termasuk dosa kecil ) sedangkan sebagai puncaknya syahwat yakni junub maka harus mandi karena penyebab junub dapat menimbulkan dorongan imajinasi yang kuat bagi manusia pada kecenderungan berbuat zina ( ini termasuk dosa besar ), jadi wudlu dan mandi junub ini adalah perumpamaan dari Alloh Swt untuk mengingatkan manusia dari dosa – dosa, dan Alloh Swt mengharapkan agar manusia bersih dari dosa-dosa tersebut, wallohu a‘lam.

Senada dengan kajian di atas, Alloh Swt berfirman :

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “ Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. .
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “ Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang ( biasa ) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan ( terhadap wanita ), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan……”. ( Qs An Nuur : 30-31 ) .

      Kita kembali pada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa perumpamaan dalam Al Qur’an adalah untuk manusia agar selalu ingat, maka sikap kita dalam keseharian harus selalu ingat untuk selalu menjaga anggota tubuh yang dibasuh waktu berwudlu jangan sampai melakukan atau mendukung untuk melakukan perbuatan dosa dari satu shalat sampai salat berikutnya. Juga harus diingat hal-hal apa yang membatalkan wudlu, karena hal tersebut menyangkut dosa juga.

      Dan Alloh memberikan isyarat yang istimewa dengan syahwat, sebab kenyataannya bisa kita lihat bahwa nafsu syahwat merupakan tantangan hasrat yang berat dalam kehidupan manusia, sehingga tidak sedikit orang terjerumus ke dalam lembah kenistaan, hina, dan dosa karena mengumbar nafsu syahwatnya. Akan tetapi Alloh Swt memberikan jaminan bahwa hal itu tidak akan terjadi kepada orang-orang yang beriman selama mereka mengikuti petunjuknya dan tentunya tahu dan mengerti maksud dan makna petunjuk tersebut sehingga tidak salah dan sesat dalam mengamalkannya. Mudah-mudahan kita selalu ditunjukkan pada jalan yang lurus dan bukan jalan yang sesat, amin.

Saturday 17 July 2010

Kenapa muslim korupsi juga ?

    Banyak orang bertanya-tanya kenapa di negara kita, Indonesia yang mayoritas penduduknya umat islam tapi tingkat korupsinya tinggi banget, dari tingkat masyarakat hingga pejabat, dari pejabat tingkat tinggi hingga pejabat tingkat RT, walaupun itu terjadi dulu-dulu sewaktu hukum hampir tidak pernah menyentuh para koruptor , sementara kini kita sering melihat di berita banyak pejabat diadili bahkan dipenjarakan, mungkin tingkat korupsi akan menurun,……atau tetap ya ?. Wallohu ‘alam
      Yang akan dibahas adalah kenapa umat islam yang biasa taat melakukan ajaran islam, bahkan yang pernah kita dengar di berita setingkat ulama sebagai mentri Agama pun bisa melakukan korupsi ( entah benar atau tidak ),kenapa hal ini terjadi ? padahal dalam al Qur’an di terangkan bahwa “ … Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar …… “ ( Al Ankabuut : 45 )
      Ketika pertanyaan tersebut di lontarkan kepada orang yang dianggap akan memberikan nasihat atau penjelasan kepada kita, seringkali jawaban yang ia lontarkan adalah karena shalatnya belum benar. Itu memang benar, akan tetapi jawaban tersebut kurang spesifik, dimana, atau bagaimana tidak benarnya.
Seperti biasa dengan ke sok tahuan dan kebodohan saya untuk hal ini saya punya pendapat begini;
      Pertama, umat islam dewasa akan sangat mengerti bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak benar, padahal setiap shalat manusia diwajibkan baca Al Fatihah yang termasuk didalamnya kalimat “ Tunjukilah kami jalan yang lurus,” ( ayat : 6 ), maka sang koruptor tersebut mungkin tidak bersungguh-sungguh dalam membaca Al Fatihah nya, tidak dengan segenap jiwa dan fikiran, sehingga tidak ada konsekwensi  antara apa yang ia ucapkan dalam do'a nya dengan apa yang ia kerjakan artinya ia memohon do'a kepada Alloh swt tetapi ia sendiri tidak ada upaya untuk menempuh jalan yang lurus tersebut.
Kemungkinan kedua, Alloh SWT tidak mengabulkan do’a tersebut karena ada dosa lain yang menghalangi, wallohu’alam.

      Kedua, korupsi terjadi karena suatu kesempatan, ketika kesempatan itu ada di sekitar kita maka bisikan-bisikan syaithon akan datang dari berbagai arah, bisikan dari syaithon golongan jin yang ada dalam fikiran, juga bisikan-bisikan dari syaithon golongan manusia yaitu ajakan teman, istri, atasan dll. Sebenarnya untuk membentengi hal tersebut Alloh SWT sudah memerintahkan kepada manusia agar memohon perlindungan kepada Nya dengan surat An Naas, akan tetapi manusi hanya membaca ulang perintah tersebut secara utuh yakni ;
“ Qul ‘audzu birobbinnaas “
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Raja manusia.
Sembahan manusia.
dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
dari (golongan) jin dan manusia.

     Jika surat tersebut dibaca utuh seperti tertulis di atas maka manusia tersebut bukan berdo’a memohon perlindungan kepada Alloh SWT melainkan menyuruh kembali kepada fihak yang dituju dengan dibacakannya itu kepada siapa, yaitu kepada Alloh SWT. Lancang sekali, naudzu billah.
Logikanya jika kita meminta kepada Alloh Swt, kita bisa berharap antara dikobul  dan tidak dikobul  atas permintaan tersebut. tapi jika kita tidak minta ya dalam fikiran pun kita tidak ada harapan apa-apa

      Yang seharusnya adalah ketika Alloh SWT menyuruh manusia dengan firmannya ;
“ Qul ‘audzu birobbinnaas “
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
Maka manusia harus mengamalkannya dengan mambaca ;
“ ‘Audzu birobbinnaas “
"Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.”
Wallohu’alam

Wednesday 2 June 2010

Bacaan Al Qur’an dalam Shalat


Ada rasa penasaran penulis, kenapa bacaan-bacaan Al Qur’an yang sifatnya peringatan, pelajaran, petunjuk, bahkan perintah dari Alloh Swt. kepada manusia, justru dibaca kembali secara utuh pada saat menghadap dan berkata-kata kepada Alloh Swt. ( saat shalat ) terutama pada waktu shalat sirr, sehingga terkesan bacaan-bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh Swt. Maka proses yang terjadi pada orang yang sedang shalat sirr dengan membaca Al Qur’an itu seolah-olah orang tersebut sedang memberikan pelajaran, peringatan, petunjuk, bahkan perintah kepada Alloh Swt dengan firman Alloh itu sendiri. Akan tetapi apakah yang diajarkan Rosululloh Saw. itu benar demikian ?. Oleh karena itu marilah kita lihat sumber-sumber keterangannya.   
1.      Hadits dari Abu Hurairah.

“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

2.      Hadits shahih dari Abu Hurairah.
Sesungguhnya seorang lelaki memasuki mesjid kemudian shalat. Selanjutnya ia menghadap dan memberi salam kepada  Rosululloh Saw, dan Nabi pun membalas salamnya. ( Lalu ) Nabi bersabda, “ Kembalilah dan kerjakanlah shalat karena kamu belum mengerjakan shalat.” Ia pun mengerjakan shalat lagi dan kembali menghadap. Rosululloh pun memerintahkannya untuk kembali berbuat seperti itu tiga kali. Selanjutnya seorang laki-laki tersebut mengatakan, “ Demi Alloh yang mengutusmu dengan seluruh kebenaran bahwa aku tidak mampu lagi mengerjakan yang lain.” Jawab Rosululloh Saw,” Apabila kamu hendak menjalankan shalat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap kiblat lalu bacalah takbir ( takbirotul ihram ) lalu bacalah ayat-ayat Al Qur’an yang gampang menurut kamu, lalu ruku’lah hingga tuma’ninah dalam ruku’, lalu bangkitlah hingga lurus, lalu sujud lah….dan seterusnya.
Dalam menanggapi hadits ini ada ulama berpendapat bahwa itu adalah suatu batasan mengenai bacaan yang dianggap cukup dalam suatu shalat, akan tetapi belum dianggap sempurna karena di hadits lain ada dikatakan wajibnya membaca Al Fatihah dalam setiap shalat, misalnya hadits dari Abu Hurairah di bawah ini ;

Sabda Rosululloh Saw. “ Barang siapa menjalankan shalat tanpa membaca Umu’l Qur’an ( Al Fatihah ) berarti shalat itu tidak utuh, shalat itu tidak utuh…( dinyatakan 3 x )  ( HR. Muslim dan Abu ‘Uwanah )

Jadi hadits Abu Hurairah ( 2 ) itu adalah bersifat sementara untuk mengajarkan kewajiban shalat, sehingga berarti jika belum bisa membaca Al Fatihah boleh membaca apa saja dari Al Qur’an yang dianggap mudah. Begitulah pendapat sebagian ulama. Padahal jika kita kembalikan kepada makna-makna penamaan Al Fatihah di atas, hadits tersebut ( 2 ) tidak ada pertentangan sedikitpun karena dianjurkan baca Al Qur’an berarti diwajibkan baca Al Fatihah.
Bagi Nasa’I dan Abu Daud dari hadits Rifa’ah bin Rafi, “ Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari pada kamu hingga ia sempurnakan wudlu sebagaimana diperintahkan Alloh Swt, kemudian ia ucapkan kebesaran Alloh Ta’ala ( takbiratul ihram ), dan memujinya, dan menyanjungnya, dan…..( dan disebutkan di situ ),
Bagi Nasa’i….Jika ada Qur’an padamu bacalah, tapi jika tidak maka pujilah Alloh, dan bertakbirlah, dan bertahlillah.
Bagi Abu Daud…..kemudian bacalah Umu’l Kitab dan apa yang dikehendaki oleh Alloh.
3.      Al Qur’an Qs Al Mujamil : 20

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

5a. Hadits dari Hudzaifah, ia berkata, “ Saya telah shalat beserta Rosululloh Saw, maka tidak ia sampai di satu ayat rahmat melainkan ia berhenti di situ  sambil berdo’a, dan tidak di satu ayat adzab, melainkan ia berlindung (kepada Alloh) dari padanya. ( Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi ). 
Ada hadits lain dimana Rosululloh berdo’a dan berlindung ( bukan membaca surat Al Qur’an ) pada saat shalat malam.

5b. Hadits dari Abi Qatadah, ia berkata,

Adalah Rosululloh Saw. mengimami kami, maka ia baca di dzuhur dan ashar di dua rakaat yang pertama Al Fatihah dan dua surat, dan terkadang ia perdengarkan ( bacaan ) ayat kepada kami dan ia panjangkan rakaat yang pertama dan di dua raat yang akhir ia baca Al Fatihah ( saja ). ( HR. Bukhari dan Muslim ).
          Katakanlah bahwa Hadits ini shahih, tentunya yakin pula bahwa Rosululloh Saw. pernah membaca ayat-ayat dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Dzuhur dan Ashar padahal shalat itu biasanya shalat sirr. Akan tetapi bagaimana bisa yakin bahwa pada saat membaca dengan sirr beliau juga membaca Al Qur’an, sebab mungkin saja Rosululloh Saw. membaca do’a dan berlindung kepada Alloh Swt.sebagaimana pernah dilakukan beliau yang diungkap pada Hadits Hudzaifah di atas ( 5a ).

5c. Hadits dari Abi Sa’id al  Khudri, ia berkata, “ Pernah kami mengira-ngira pendirian Rosululloh Saw di Dzuhur dan Ashar maka kami dapati berdirinya di dua rakaat yang pertama dari Dzuhur sekedar ( membaca ) Alif lam miim Tanzil sajdah ( surat As Sajdah ) dan di dua rakaat yang terakhir sekedar separo dari itu, dan di dua yang pertama dari Ashar, sekedar dua rakaat yang akhir dari Dzuhur, dan di dua rakaat yang akhir ( sekedar ) separoh dari itu.     ( HR Muslim ).

5d. Hadits dari Khabab :Bahwa Nabi Saw membaca Al Qur’an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar. Dikatakan, “ Dengan cara apa kamu mengetahui hal seperti itu ?” jawabnya, “ Melalui ( melihat ) gerakan dagunya”.
Berdasarkan riwayat dan rawi kedua hadits tersebut di atas ( 5c & 5d ) memang shahih, akan tetapi muatan keterangannya tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan suatu ketetapan hukum, apalagi jika kita hadapkan dengan keterangan dari Ibnu Abbas ra sebagai berikut;
“ Bahwasanya Ibnu Abbas tidak membaca Al Qur’an di dalam shalat sirr. Dan bahwasannya ia mengatakan,” Rosululloh Saw membaca Al Qur’an di dalam berbagai shalat dan diam ( tidak membaca ) pada shalat lainnya. Maka kami membaca pada shalat yang beliau ( juga ) membaca ( Al Qur’an ), dan kami diam ( tidak membaca ) pada shalat-shalat yang beliau juga tidak membacanya “. Ibnu Abbas ditanya, “ Apakah pada shalat Dzuhur dan Ashar terdapat bacaan ?” Jawabnya “ Tidak ada “.
            Keterangan Ibnu Abbas ini ditentang oleh para ahli fiqih karena dianggap bertentangan dengan keterangan-keterangan yang menyatakan bahwa tidak syah shalat tanpa Al Fatihah, sementara mereka beranggapan bahwa Al Fatihah adalah Al Qur’an. Sedangkan kita sudah bahas di muka bahwa Al Fatihah berbeda dengan Al Qur’an walaupun sama-sama sebagai firman Alloh Swt.
Memang pada shalat-shalat jahr ( dikeraskan suara bacaannya ) banyak hadits menerangkan bahwa Rosululloh Saw membaca surat-surat Al Qur’an. Jadi sebenarnya bagaimana kita harus mengikutinya ? Isyarat-isyarat apa yang dapat kita simpulkan sehingga maksud Rosululloh Saw. itu dapat dipahami dengan benar dan dapat diikuti secara benar pula. Tentunya ini perlu dicermati dari berbagai keterangan dengan teliti dan menyeluruh.
            Untuk memulai mencermati keterangan-keterangan di atas, mari kita pahami dahulu apa itu shalat ?. Shalat dapat didefinisikan sebagai suatu pengabdian seorang hamba kepada Alloh Swt. ( setelah diperintahkan oleh Alloh Swt. dan RosulNya ) dengan menghadapkan diri dan berkata-kata kepadaNya. Maka kata-kata yang ada pada waktu shalatnya seorang hamba adalah kata-kata manusia kepada Alloh Swt. yang memuat puja dan puji syukur, sanjungan, serta do’a kepada Alloh Swt.
Adapun sebagai dasar keterangan adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Anas ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw.” Apabila salah seorang daripada kamu di dalam shalat maka sesungguhnya ( berarti ) ia berkata-kata kepada Tuhannya, oleh karena itu…..( Mutafak Alaih ).

Hadits dari Abu Hurairah;
                        
“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

Al Qur’an adalah sekumpulan perkataan, ceritra-ceritra, riwayat-riwayat yang berisi tentang pelajaran, keterangan, petunjuk, perintah dan lain-lain dari Alloh kepada/untuk manusia. Maka kata-kata yang ada pada Al Qur’an adalah kata-kata Alloh Swt atau suruhanNya ( Malaikat ) kepada /untuk manusia, kecuali Al Fatihah, yang cenderung diturunkan Alloh untuk sebagai do’anya manusia kepada Alloh Swt di waktu shalat, atau do’a untuk memulai membaca, atau mempelajari Al Qur’an .
Kita lihat contoh surat-surat pendek Al Qur’an yang sering kita baca dalam shalat ;
Qs Al kaafirun 

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.                                                                 
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku".

   Qs Al Kautsar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak.   Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.          

QsAtTakaatsur
 Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
 sampai kamu masuk ke dalam kubur.
 Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),        dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
 niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
 kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang     kamu megah-megahkan di dunia itu). 

            Dengan mencermati ayat demi ayat dari surat-surat pendek Al Qur’an yang ditampilkan di atas, nampak jelas sekali bahwa kata-kata itu dari Alloh Swt. ( atau dengan perantaraan pesuruhNya ) yang ditujukan kepada manusia. Sementara kebiasaan kita sehari-hari mengucapkan atau membacanya secara utuh kata-kata tersebut yang ditujukan kepada yang kita hadapi yaitu Alloh Swt. sebagaimana diterangkan di atas ( hadits dari Anas ) yang menerangkan bahwa orang yang sedang shalat itu berarti sedang berkata-kata kepada Tuhannya. Karena itu membaca Al Qur’an secara utuh waktu shalat dengan sirr, itu sama saja dengan mengembalikan suruhan, peringatan, dan petunjukNya kepada Alloh sendiri. Semantara keterangan-keterangan yang sifatnya mengajarkan membaca surat-surat Al Qur’an pada shalat sirr tersebut kurang begitu meyakinkan.
Selain dari pada itu, jika kita membaca surat-surat Al Qur’an tersebut waktu shalat sirr, itu bertentangan dengan keterangan pada hadits yang memuat firman Alloh bahwa,”…….shalat dibagi antara Aku ( Alloh ) dan hambaKu menjadi dua bagian…..” ( lihat keterangan 1 ) karena jika kita membaca Al Qur’an secara utuh itu bukan pujian, atau sanjungan untuk Alloh dan bukan pula do’a hamba kepada Alloh untuk hamba itu sendiri. 
Sudah dikatakan di atas bahwa Rosululloh Saw banyak mencontohkan pada shalat jahr ( dikeraskan ) membaca surat-surat Al Qur’an, padahal di atas dikatakan bahwa itu bertentangan dengan keterangan hadits di atas. Namun demikian hal itu masih bias dipahami mengingat beliau adalah seorang utusan , seorang rosul, seorang pesuruh Alloh yang mempunyai tugas menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada umatnya. Maka bisa jadi Rosululloh Saw. membacakan ayat-ayat tersebut ditujukan untuk didengarkan ma’mum. Karena dipandang akan sangat berkesan pada ingatan ma’mum mengingat pada saat shalat ma,mum akan dengan khidmat mendengarkannya.
Pemahaman ini diambil dari isyarat hadits-hadits berikut ;

Riwayat bagi Ahmad dan Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban,” Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? ” Kami jawab,” betul “. Maka sabdanya, “ Jangan kamu berbuat melainkan Fatihatul Kitab karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya “.

Rosululloh Saw bersabda,” Sesungguhnya imam itu dijadikan hanya untuk diikuti. Oleh karena itu, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah dan apabila ia membaca qira’at ( Al Qur’an ) maka dengarkanlah “. ( Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu Uwanah dan Ar Rubani ).

Rosululloh Saw. bersabda, “ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya “. ( Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi dan Ahmad ).

              Sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa yang dimaksudkan dengan Al Qur’an adalah dari mulai surat Al Baqarah sampai akhir Al Qur’an atau surat An Naas, sementara Al Fatihah adalah Fatihatul Kitab ( pembukaan kitab ), atau Ummul Qur’an ( Induknya Al Qur’an ), atau As Sab’ul Matsaani ( tujuh ayat yang diulang-ulang ). Jadi ketika imam membaca Al Qur’an maka dengarkanlah karena bacaan itu untuk ma’mum, buat ma’mum, kepada ma’mum, bukan ditujukan kepada Alloh Swt. Bacaan lain selain Al Qur’an yang dibaca dengan sirr dan Al Fatihah itu ditujukan kepada Alloh dan itu harus dibaca sendiri-sendiri, bacaan inilah bacaan shalat yang dimaksud pada hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa shalat itu dibagi dua antara Alloh Swt dan hambaNya ( lihat keterangan 1 ). Jadi bacaan Al Qur’an dalam shalat adalah bacaan tambahan untuk kepentingan da’wah, dengan kata lain bahwa diwaktu shalat itu Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an tersebut untuk memberikan pelajaran, memberikan petunjuk, memberikan peringatan, memberikan perintah dengan ayat-ayat Alloh Swt. kepada ma’mumnya atau kepada umat di sekitarnya.
              Setelah dipahami bahwa Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an itu ditujukan atau disampaikan kepada ma’mum dan umat, maka hadits Ibnu Abbas ra yang menyebutkan tidak membaca Al Qur’an dalam shalat sirr dan tidak ada bacaan Al Qur’an pada shalat Zhuhur dan Ashar nampaknya lebih rasional dibandingkan dengan keterangan lain yang bertentangan dengannya, karena tidak mungkin menyampaikan atau mengajarkan ayat-ayat kepada ma’mum atau umat dengan cara sirr.
Untuk memperkuat atau memperjelas pendapat atau keterangan tersebut kita lihat hadits-hadits berikut :

Apabila beliau membaca Qira’at di rumah maka orang yang berada di dalam kamar dapat mendengar Qira’atnya itu. ( Abu Daud dan At Tirmidzi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan pula begini :
 
Bahkan barangkali beliau mengangkat suaranya lebih dari pada itu sehingga orang yang berada di luar kamar dapat mendengarnya. ( An Nasa’I dan At Tirmidzi dan Al Baihaqi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan begini :

Pada suatu malam beliau keluar, tiba-tiba beliau mendapatkan Abu Bakar tengah shalat dengan merendahkan suaranya, dan beliau melewati Umar bin Khattab ra tengah melakukan shalat dengan mengangkat suaranya. Kemudian tatkala mereka berdua berkumpul pada Nabi Saw, bersbdalah beliau, “ Wahai Abu Bakar, aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau merendahkan suaramu ?” ( Abu Bakar ) berkata “ Aku tengah memperdengarkan kepeda yang aku bisikkan wahai Rosululloh “. Kemudian beliau bersabda kepada Umar,” Aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau mengeraskan suaramu ?” Umar brkata, “ Wahai Rosululloh, aku membangunkan orang yang mengantuk dan mengusir setan”. Kemudian Nabi Saw. bersabda,” wahai Abu Bakar angkat suaramu sedikit”. Kemudian bersabda kepada Umar, “ Rendahkan sedikit suaramu “. ( Abu Daud dan Hakim dishahihkan oleh Adz Dzahabi ).

Pada riwayat di atas nampak Rosululloh Saw. tidak menyetujui alasan kedua orang tersebut. Padahal jika bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh atau ditujukan untuk diri sendiri maka Rosululloh Saw tidak akan menyuruh Abu Bakar untuk mengeraskan suaranya sedikit lebih tinggi, bahkan lebih rendahpun Alloh akan mendengarnya. Ada kemungkinan Rosululloh Saw menyuruh Abu Bakar mengeraskan suara bacaannya sedikit dan menyuruh Umar menurunkannya sedikit dimaksudkan agar bacaan Al Qur’an tersebut terdengar dengan suara yang sedang sehingga enak didengar dan akan sangat berkesan jika didengar oleh orang lain yang tidak sedang tidur atau sedang terjaga, sehingga menambah kecintaan orang yang mendengar tersebut terhadap ajaran Al Qur’an . Wallohu a’lam.
Larangan membaca Al Qur’an waktu shalat sirr tersebut tercantum juga dalam Al Qur’an itu sendiri yakni pada Qs Al Israa : 110
   

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

            Kalimat”… dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu " menurut para ahli tafsir maksudnya adalah Allah memerintahkan kepada Rasul agar di waktu salat jangan membaca ayat dengan suara keras dan jangan pula dengan suara yang rendah tapi di antara keduanya. Dimaksud dengan membaca ayat ini mencakup membaca Basmalah dan ayat lainnya. Jika rasul membaca dengan suara yang nyaring tentulah didengar oleh orang musyrikin dan mereka lalu mengejek, mengecam dan memaki-maki Alquran, Nabi dan sahabat-sahabatnya. Namun ditegur pula agar jangan terlalu rendah suaranya dalam membaca ayat Alquran sehingga sahabatnya tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Larangan ini ketika Rasul masih berada di Mekah berdasar riwayat Ibnu Abbas. Menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasul ketika di Mekah disuruh membaca dengan suara yang sedang, dilarang membaca dengan suara yang nyaring dan rendah sehingga tidak terdengar. Tetapi sesudah hijrah ke Madinah persoalan itu tidak ada lagi kecuali membaca ayat dalam salat dengan suara yang keras di luar batas yang diperlakukan, maka yang semacam ini tetap tidak dibenarkan. Akan tetapi tidak dimasalahkan bukan berarti menjadi boleh membaca Al Qur’an dengan suara rendah hingga tak terdengar, sebab ayat Qs Al Israa : 110 tidak berubah dan tetap berlaku.
Dengan tidak disebutkannya di shalat yang mana atau di shalat apa yang dimaksud, maka ini berarti ditujukan secara umum atau di seluruh shalat. Dengnan demikian jelas bahwa kita tidak boleh membaca Al Qur’an ( secara  utuh ) waktu shalat sirr.
Jadi nampaknya bacaan Al Qur’an dari orang shalat itu bukan ditujukan kepada Alloh Swt. dan bukan pula untuk mengusir setan, akan tetapi untuk memberikan pelajaran, peringatan, dan petunjuk kepada manusia di sekitarnya, termasuk ma’mum dan diri sendiri sehingga bertambah-tambah imannya. Wallohu a’lam. Bahkan diriwayatkan bahwa Rosululloh Saw pernah membaca ayat Al Qur’an dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Zhuhur dan Ashar ( lihat keterangan 5 b dan penjelasannya ), walaupun banyak pula diriwayatkan bahwa beliau shalat Zhuhur dan Ashar secara sirr. Dari keterangan- keterangan ini dapat dipahami bahwa Rosululloh Saw apabila dalam shalatnya hendak membacakan Al Qur’an maka bacaan Al Qur’annya beliau keraskan, dan apabila beliau dalam shalatnya hanya memohonkan do’a, memuji dan menyanjungNya, maka beliau shalat dengan sirr.
Rosululloh Saw nampaknya pernah mangisyaratkan bahwa Al Qur’an tidak pantas untuk dibaca ma’mum dalam shalat sirr, lihat hadits-hadits berikut ini:

Beliau shalat Zhuhur bersama para sahabatnya, lalu beliau bersabda, “ Siapa di antara kamu yang membaca Sabbihisma Robbika’l  A’la…. ?” Seorang laki-laki berkata, “ Aku, dan aku hanya menginginkan kebaikan dengan bacaan itu”. Maka beliau bersabda,” Aku telah mengetahui bahwa seorang laki-laki telah mambimbangkan pikiranku dengan bacaan itu “. ( HR Muslim, Abu ‘Uwanah, dan As Siraj ).

Rarosululloh Saw, nampak menebak ada makmum dg  sirr membaca Sabbihisma robbika’l A’la, maka bagaimana tidak bimbang pikiran Rosululloh Saw, karena seharusnya beliaulah sebagai imam yang memberikan pelajaran dan peringatan dengan Al Qur’an tersebut, akan tetapi beliau tidak hendak membaca Al Qur’an tapi justru malah ma’mum yang membaca Al Qur’an dengan membaca Sabbihisma robbika’l A’la…. “ yang artinya” Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” , ini adalah kalimat perintah yang entah kepada siapa ia tujukan.
Di riwayat lain Rosululloh Saw. pernah bersabda sebagai berikut:

“ sesungguhnya orang yang sedang shalat itu sedang berbisik-bisik dengan Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah ia memperhatikan apa yang dibisikkannya itu kepadaNya, dan janganlah sebagian kamu mengeraskan bacaan-bacaan Al Qur’an atas sebagian lainnya.” ( Malik dan Bukhari dengan sanad yang shahih ).

Jika seseorang berbisik-bisik dengan shalatnya dengan membaca “ Sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi” dengan bisikan yang ditujukan kepada Alloh ( shalat ), apakah itu pantas ?, tentu saja tidak. Bacaan itu lebih pantas jika dibaca secara jahr untuk ditujukan kepada orang lain. ( Oleh imam kepada ma’mum ).
Jika semua pemahaman di atas itu benar maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada shalat sirr baik sendiri maupun berjamaah tidak boleh membaca surat Al Qur’an. Atau apabila hendak membaca Al Qur’an maka surat atau ayatnya dipilih yang memiliki kandungan yang bersifat pujian atau do’a atau permohonan perlindungan kepada Alloh. Bahkan nampaknya diperbolehkan berdo’a dan berlindung kepada Alloh Swt. dengan redaksi sendiri, mengingat hal demikian pernah dilakukan Rosululloh Saw. sebagai rujukan lihat keterangan 1 dan 5 a.
Semua surat Al Qur’an merupakan kata-kata atau firman yang bersifat peringatan, pelajaran, perintah, atau petunjuk dari Alloh kepada manusia, sehingga jika dibaca satu surat utuh tidak ada satu suratpun yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh Swt. Namun demikian, sebenarnya ada surat-surat yang bersifat perintah kepada manusia agar manusia berlindung atau memuji kepadaNya, akan tetapi kebiasaan kita sehari-hari selalu membaca surat-surat tersebut secara utuh sehingga akhirnya kita hanya menirukan perintah Alloh Swt dan tidak pernah melaksanakan perintahNya. Adapula ayat-ayat yang menceritakan bagai mana umat atau para nabi terdahulu berdo’a kepada Tuhannya.
Kita lihat surat-surat Al Qur’an yang memerintahkan atau menganjurkan agar manusia berlindung dan memuji kepadaNya :

Qs Al Falaq 
                                                                      
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,    
dari kejahatan makhluk-Nya, 
dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".

Qs An Naas

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.      .                                                                    
Raja manusia.
Sembahan manusia.
dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
dari (golongan) jin dan manusia.

Qs Al Ikhlas

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Pada ayat pertama kedua surat tersebut di atas terdapat kalimat “ Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan…… ”, jika kita amati kalimat tersebut terdiri dari dua bagian yaitu kata “ Katakanlah “ adalah sebuah kata perintah dari Alloh Swt. yang ditujukan kepada manusia. Kemudian bagian lainnya adalah kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan…..” itu adalah kata-kata manusia yang ditujukan kepada Alloh Swt, hanya saja redaksinya dari Alloh Swt. agar manusia berdo’a memohon perlindungan kepadaNya.
Jika dalam shalatnya orang membaca “ Katakanlah…” maka jelas sekali bahwa orang yang mengatakan kata tersebut memerintah kepada siapa yang dihadapinya ( Alloh Swt ), ini merupakan hal yang tidak bisa diterima kebenarannya secara akal pikiran. Karena itu jika ingin membaca surat tersebut di waktu shalat sirr adalah kata-kata yang pantas diucapkan manusia kepada Alloh Swt yakni kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan….” Karena demikianlah kedudukannya orang yang sedang shalat sirr. Kita lihat hadits berikut :

Beliau bersabda kepada ‘Uqbah bin Amir ra, “ Baca di dalam shalatmu dua surat yang memakai A’udzu. Tidak ada orang yang membaca A’udzu selain dua surat itu ( Al Falaq dan An Naas ). HR Abu Daud dan Ahmad dengan sanad yang shahih.

Dengan sabda tersebut di atas nampaknya Rosululloh Saw. hendak menjelaskan bahwa bacaan Al Qur’an yang cocok untuk dibaca dalam shalat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ‘Uqbah bin Amir ra waktu itu ( tidak berma’mum kepada Rosolulloh Saw. disaat shalat jahr ) adalah surat Al Falaq dan An Naas dengan dimulai dari kata “A’udzu …” bukan “ Qul A’udzu…”.
Lain halnya dengan Imam yang membacanya dengan jahr. Karena bacaan imam adalah bacaan bagi ma’mum, jadi kata “ Katakanlah ..” itu ditujukan kepada ma’mum bukan kepada Alloh Swt. Wallohu a’lam.
Sebagai tambahan untuk memperlihatkan  ayat Al Qur’an yang mana yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh, kita lihat hadits di bawah ini :

Pada suatu malam beliau melaksanakan shalat malam dengan membaca suatu ayat yang diulang-ulang hingga datang waktu shubuh yaitu ayat :

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( Qs Al Maidah: 118 ).

Beliau ruku’dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya. Tatkala datang waktu shubuh, berkatalah Abu Dzarr ra kepada beliau, “ Wahai Rosululloh Saw, masih saja engkau membaca ayat ini hingga engkau menemia waktu shubuh. Engkau ruku’ dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya sedangkan Alloh Swt telah mengajarkan Al Qur’an kepadamu seluruhnya. Sekiranya sebagian kita mengerjakan hal ini, niscaya kita akan mendapatkannya.
Beliau bersabda,” Sesungguhnya aku telah memohon shafa’at kepada Tuhanku untuk umatku. Maka dia memberikannya kepadaku dan insya Alloh ia akan diterima oleh orang yang tidak mensekutukan Alloh dengan sesuatu. ( An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Ibnu Nashr dan Al Hakim serta dishahihkan dan disepakati oleh Adz Zahabi ).
demikian,  Wallohu 'alam