Translate

Sunday 30 July 2017

Telunjuk dalam Tasyahud


Banyak ustadz dalam ceramahnya manakala menjelaskan perkara bid'ah acapkali mengungkapkan kalimat " Islam itu sudah sempurna" dengan tidak menyadari bahwa dalam banyak perkara justru cara memahaminyalah yang belum sempurna, bukan  ajaran Islamnya.


Misalnya, sudah sempurnakah memahami bagaimana seharusnya telunjuk saat tasyahud? Apakah yakin Nabi Muhammad  Saw. mengajarkan dua cara, menggerak-gerakannya dan menunjuk lurus?
Sementara cara-cara tersebut dipahami oleh para mujtahid dulu dari keterangan berikut ini,


Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)


Wail berkata:
“Beliau mengangkat jarinya. Aku lihat beliau menggerak-gerakkan jarinya dan berdoa dengannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad shahih.َ


 Dan dalam hadist yang lain, dari Abdullah bin Umar:
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari di samping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa’i)


 Disunnahkan menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud pada saat berdoa, karena datang di dalam hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari beliau, maka aku melihat beliau menggerakkannya, seraya berdoa dengannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ahmad)


Dari Nafi’ beliau berkata:
“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.'”(HR. Ahmad)
dan hadits-hadits lain sejenis.


Kemudian kedua cara tersebut diperdebatkan tapi dengan mengikuti pola pikir para mujtahid dulu, ya hasilnya akan tetap seperti itu. Tapi kalau saya coba ikut mengkaji ulang dengan pola pikir yang lain, muncul komentar sinis, belajarnya dari mana?, hafal berapa hadits?, ijtihad itu ada syaratnya! Dll.
Coba kita pikirkan bersama, jika Rosululloh Saw. tidak mensyaratkan hal2 tersebut untuk berijtihad, lalu anda mensyaratkannya boleh tidak?.
Jadi, sebelum anda memperlihatkan dalilnya yang jelas tentang syarat ijtihad, saya coba berijtihad untuk mencari yang benar daripada dua perbedaan tersebut.


Pengamatan saya begini, bahwa hadits -hadis tersebut menginformasikan amalan hasil penglihatan dari gerakan Rosululloh Saw.
Yang namanya gerakan tubuh, bisa disengaja bisa tidak, bisa dengan kendali otak bisa di luar kendali, dengan demikian 
kata " menggerak-gerakkan " pada HR Imam Al Baihaqi lebih tepat jika dikatakan " terlihat bergerak-gerak " karena tidak tahu apakah gerakan itu disengaja atau tidak, sementara menunjuk diam dan lama, jelas disengaja.
Yang mengetahui bergerak-geraknya telunjuk Rosululloh disengaja atau tidak adalah beliau sendiri, maka jawabannya terdapat pada hadits berikut:


Dari Nafi’ beliau berkata,
...............
" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.'”(HR. Ahmad)


Maka seharusnya telunjuk itu lurus dan kaku, dan gerakan itu diluar maksud Rosululloh Saw. mungkin waktu itu telunjuk Rosululloh dalam keadaan gemetar karena sesuatu hal.


Wallahu'alam.
Semoga bermanfaat.

Tuesday 11 July 2017

Sholat jamak

Telah berulangkali saya menyimak khotib Jum at
menerangkan  sebuah hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menganai kisah, Rasulullah saw. Yang menyuruh 2 orang sahabat untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah. Yang mana beliau memberi sebuah pesan kepada mereka yaitu, “Laa yushalliyaannna ahadun al ‘ashra illaa fii banii quraizhah”.


Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kamu sholat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.
Lalu pergilah mereka menuju perkampungan Bani Quraizhah.


Di tengah jalan ternyata waktu Ashar sudah mau habis, sedangkan jarak ke perkampungan Bani Quraizhah masih cukup jauh. Maka karenanya timbullah 2 pendirian yang berbeda di antara mereka, yang satu orang melaksanakan salat ashar di perjalanan, dan yang lainnya salat ashar di tempat tujuan, maka sepulang dari bepergian tersebut keduanya mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Dan ternyata Rasulullah saw, tidak menyalahkan kedua pendirian tersebut.
Tapi sayang sekali dari kisah  tersebut memunculkan paham bahwa berbeda pendapat adalah sesuatu yang tidak masalah.


Pemahaman saya, pada kisah tersebut, dengan perintah dan pesan itu Rosululloh Saw. hendak mengajarkan suatu hukum syariat. Saya kira dengan perintah dan pesan tersebut Rosululloh Saw. sudah memperhitungkan bahwa waktu ashar akan terlewat. Sementara hukum shalat ashar ketika bepergian, bagi Rosululloh Saw. sudah ada ketentuan, yakni boleh pada waktunya, boleh juga disatukan di waktu maghrib, dan itu adalah keringanan  atau rukshoh yang boleh manfaatkan atau  tidak. Hukum inilah yang hendak Rosululloh Saw. ajarkan kepada mereka dengan kisah tersebut sebagai tambahan hukum yang telah beliau sosialisasikan dengan kebiasaannya jamak & Qashar dzuhur dengan ashar, magrib dengan isya. Dan pada umumnya memang pemahamannya adalah seperti itu.


Dalam hal ini, sekitar belasan tahun lalu saya pernah ditertawakan seorang bapak-bapak karena melaksanakan jamak sholat maghrib di waktu ashar, karena akan bepergian jauh setelah ashar,   sementara pertimbangan saya, jika harus shalat maghrib dan isya di larut malam dan dalam keadaan lelah dikhawatirkan ngantuk, dan shalat dalam keadaan ngantuk itu tidak baik.


Sebelum Kisah tersebut ditetapkan ketentuan hukumnya nampaknya seperti perbedaan pendapat, tapi setelah ditetapkan ketentuan hukumnya ternyata itu bukanlah perbedaan pendapat melainkan hanyalah ketidak tahuan dan perbedaan hasrat dan minat memanfaatkan rukshoh


wallahu'alam.
Mari kita diskusikan...
Semoga bermanfaat