Translate

Wednesday 2 June 2010

Bacaan Al Qur’an dalam Shalat


Ada rasa penasaran penulis, kenapa bacaan-bacaan Al Qur’an yang sifatnya peringatan, pelajaran, petunjuk, bahkan perintah dari Alloh Swt. kepada manusia, justru dibaca kembali secara utuh pada saat menghadap dan berkata-kata kepada Alloh Swt. ( saat shalat ) terutama pada waktu shalat sirr, sehingga terkesan bacaan-bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh Swt. Maka proses yang terjadi pada orang yang sedang shalat sirr dengan membaca Al Qur’an itu seolah-olah orang tersebut sedang memberikan pelajaran, peringatan, petunjuk, bahkan perintah kepada Alloh Swt dengan firman Alloh itu sendiri. Akan tetapi apakah yang diajarkan Rosululloh Saw. itu benar demikian ?. Oleh karena itu marilah kita lihat sumber-sumber keterangannya.   
1.      Hadits dari Abu Hurairah.

“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

2.      Hadits shahih dari Abu Hurairah.
Sesungguhnya seorang lelaki memasuki mesjid kemudian shalat. Selanjutnya ia menghadap dan memberi salam kepada  Rosululloh Saw, dan Nabi pun membalas salamnya. ( Lalu ) Nabi bersabda, “ Kembalilah dan kerjakanlah shalat karena kamu belum mengerjakan shalat.” Ia pun mengerjakan shalat lagi dan kembali menghadap. Rosululloh pun memerintahkannya untuk kembali berbuat seperti itu tiga kali. Selanjutnya seorang laki-laki tersebut mengatakan, “ Demi Alloh yang mengutusmu dengan seluruh kebenaran bahwa aku tidak mampu lagi mengerjakan yang lain.” Jawab Rosululloh Saw,” Apabila kamu hendak menjalankan shalat maka sempurnakanlah wudlu lalu menghadap kiblat lalu bacalah takbir ( takbirotul ihram ) lalu bacalah ayat-ayat Al Qur’an yang gampang menurut kamu, lalu ruku’lah hingga tuma’ninah dalam ruku’, lalu bangkitlah hingga lurus, lalu sujud lah….dan seterusnya.
Dalam menanggapi hadits ini ada ulama berpendapat bahwa itu adalah suatu batasan mengenai bacaan yang dianggap cukup dalam suatu shalat, akan tetapi belum dianggap sempurna karena di hadits lain ada dikatakan wajibnya membaca Al Fatihah dalam setiap shalat, misalnya hadits dari Abu Hurairah di bawah ini ;

Sabda Rosululloh Saw. “ Barang siapa menjalankan shalat tanpa membaca Umu’l Qur’an ( Al Fatihah ) berarti shalat itu tidak utuh, shalat itu tidak utuh…( dinyatakan 3 x )  ( HR. Muslim dan Abu ‘Uwanah )

Jadi hadits Abu Hurairah ( 2 ) itu adalah bersifat sementara untuk mengajarkan kewajiban shalat, sehingga berarti jika belum bisa membaca Al Fatihah boleh membaca apa saja dari Al Qur’an yang dianggap mudah. Begitulah pendapat sebagian ulama. Padahal jika kita kembalikan kepada makna-makna penamaan Al Fatihah di atas, hadits tersebut ( 2 ) tidak ada pertentangan sedikitpun karena dianjurkan baca Al Qur’an berarti diwajibkan baca Al Fatihah.
Bagi Nasa’I dan Abu Daud dari hadits Rifa’ah bin Rafi, “ Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari pada kamu hingga ia sempurnakan wudlu sebagaimana diperintahkan Alloh Swt, kemudian ia ucapkan kebesaran Alloh Ta’ala ( takbiratul ihram ), dan memujinya, dan menyanjungnya, dan…..( dan disebutkan di situ ),
Bagi Nasa’i….Jika ada Qur’an padamu bacalah, tapi jika tidak maka pujilah Alloh, dan bertakbirlah, dan bertahlillah.
Bagi Abu Daud…..kemudian bacalah Umu’l Kitab dan apa yang dikehendaki oleh Alloh.
3.      Al Qur’an Qs Al Mujamil : 20

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

5a. Hadits dari Hudzaifah, ia berkata, “ Saya telah shalat beserta Rosululloh Saw, maka tidak ia sampai di satu ayat rahmat melainkan ia berhenti di situ  sambil berdo’a, dan tidak di satu ayat adzab, melainkan ia berlindung (kepada Alloh) dari padanya. ( Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi ). 
Ada hadits lain dimana Rosululloh berdo’a dan berlindung ( bukan membaca surat Al Qur’an ) pada saat shalat malam.

5b. Hadits dari Abi Qatadah, ia berkata,

Adalah Rosululloh Saw. mengimami kami, maka ia baca di dzuhur dan ashar di dua rakaat yang pertama Al Fatihah dan dua surat, dan terkadang ia perdengarkan ( bacaan ) ayat kepada kami dan ia panjangkan rakaat yang pertama dan di dua raat yang akhir ia baca Al Fatihah ( saja ). ( HR. Bukhari dan Muslim ).
          Katakanlah bahwa Hadits ini shahih, tentunya yakin pula bahwa Rosululloh Saw. pernah membaca ayat-ayat dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Dzuhur dan Ashar padahal shalat itu biasanya shalat sirr. Akan tetapi bagaimana bisa yakin bahwa pada saat membaca dengan sirr beliau juga membaca Al Qur’an, sebab mungkin saja Rosululloh Saw. membaca do’a dan berlindung kepada Alloh Swt.sebagaimana pernah dilakukan beliau yang diungkap pada Hadits Hudzaifah di atas ( 5a ).

5c. Hadits dari Abi Sa’id al  Khudri, ia berkata, “ Pernah kami mengira-ngira pendirian Rosululloh Saw di Dzuhur dan Ashar maka kami dapati berdirinya di dua rakaat yang pertama dari Dzuhur sekedar ( membaca ) Alif lam miim Tanzil sajdah ( surat As Sajdah ) dan di dua rakaat yang terakhir sekedar separo dari itu, dan di dua yang pertama dari Ashar, sekedar dua rakaat yang akhir dari Dzuhur, dan di dua rakaat yang akhir ( sekedar ) separoh dari itu.     ( HR Muslim ).

5d. Hadits dari Khabab :Bahwa Nabi Saw membaca Al Qur’an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar. Dikatakan, “ Dengan cara apa kamu mengetahui hal seperti itu ?” jawabnya, “ Melalui ( melihat ) gerakan dagunya”.
Berdasarkan riwayat dan rawi kedua hadits tersebut di atas ( 5c & 5d ) memang shahih, akan tetapi muatan keterangannya tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan suatu ketetapan hukum, apalagi jika kita hadapkan dengan keterangan dari Ibnu Abbas ra sebagai berikut;
“ Bahwasanya Ibnu Abbas tidak membaca Al Qur’an di dalam shalat sirr. Dan bahwasannya ia mengatakan,” Rosululloh Saw membaca Al Qur’an di dalam berbagai shalat dan diam ( tidak membaca ) pada shalat lainnya. Maka kami membaca pada shalat yang beliau ( juga ) membaca ( Al Qur’an ), dan kami diam ( tidak membaca ) pada shalat-shalat yang beliau juga tidak membacanya “. Ibnu Abbas ditanya, “ Apakah pada shalat Dzuhur dan Ashar terdapat bacaan ?” Jawabnya “ Tidak ada “.
            Keterangan Ibnu Abbas ini ditentang oleh para ahli fiqih karena dianggap bertentangan dengan keterangan-keterangan yang menyatakan bahwa tidak syah shalat tanpa Al Fatihah, sementara mereka beranggapan bahwa Al Fatihah adalah Al Qur’an. Sedangkan kita sudah bahas di muka bahwa Al Fatihah berbeda dengan Al Qur’an walaupun sama-sama sebagai firman Alloh Swt.
Memang pada shalat-shalat jahr ( dikeraskan suara bacaannya ) banyak hadits menerangkan bahwa Rosululloh Saw membaca surat-surat Al Qur’an. Jadi sebenarnya bagaimana kita harus mengikutinya ? Isyarat-isyarat apa yang dapat kita simpulkan sehingga maksud Rosululloh Saw. itu dapat dipahami dengan benar dan dapat diikuti secara benar pula. Tentunya ini perlu dicermati dari berbagai keterangan dengan teliti dan menyeluruh.
            Untuk memulai mencermati keterangan-keterangan di atas, mari kita pahami dahulu apa itu shalat ?. Shalat dapat didefinisikan sebagai suatu pengabdian seorang hamba kepada Alloh Swt. ( setelah diperintahkan oleh Alloh Swt. dan RosulNya ) dengan menghadapkan diri dan berkata-kata kepadaNya. Maka kata-kata yang ada pada waktu shalatnya seorang hamba adalah kata-kata manusia kepada Alloh Swt. yang memuat puja dan puji syukur, sanjungan, serta do’a kepada Alloh Swt.
Adapun sebagai dasar keterangan adalah hadits-hadits berikut ini;
Dari Anas ia berkata, telah bersabda Rosululloh Saw.” Apabila salah seorang daripada kamu di dalam shalat maka sesungguhnya ( berarti ) ia berkata-kata kepada Tuhannya, oleh karena itu…..( Mutafak Alaih ).

Hadits dari Abu Hurairah;
                        
“ Alloh yang bertambah-tambah berkahNya dan ketinggianNya berfirman, “ Shalat itu dibagi antara Aku dan hambaKu menjadi dua bagian, satu bagian untuk Ku dan satu bagian untuk hambaKu. Yang untuk hambaKu adalah sesuai dengan apa yang diminta. “ Berkata hamba, “  Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin”. Alloh berfirman ( manjawab ), “ Telah memuji Aku hambaKu “, hamba berkata, “ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “, Alloh berfirman, “ Hambaku telah memujaKu “. Hamba berkata,” Yang menguasai hari pembalasan “, Alloh brfirman, “ HambaKu telah memuliakan Aku “. Hamba berkata,” Hanya kepadaMulah kami beribadah dan hanya kepadaMulah  kami mohon pertolongan “, Alloh berfirman, “ Ini adalah antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaku apa yang dimohonkannya “. Hamba berkata, “ Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ( yaitu ) jalannya orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka  yang dimurkai dan bukan ( pula jalan ) mereka yang sesat “, Alloh berfirman,” Semua itu adalah bagi hambaKu, dan bagi hambaKu adalah apa yang dimohonnya “. ( Muslim dan Abu ‘Uwanah, dan Malik ).

Al Qur’an adalah sekumpulan perkataan, ceritra-ceritra, riwayat-riwayat yang berisi tentang pelajaran, keterangan, petunjuk, perintah dan lain-lain dari Alloh kepada/untuk manusia. Maka kata-kata yang ada pada Al Qur’an adalah kata-kata Alloh Swt atau suruhanNya ( Malaikat ) kepada /untuk manusia, kecuali Al Fatihah, yang cenderung diturunkan Alloh untuk sebagai do’anya manusia kepada Alloh Swt di waktu shalat, atau do’a untuk memulai membaca, atau mempelajari Al Qur’an .
Kita lihat contoh surat-surat pendek Al Qur’an yang sering kita baca dalam shalat ;
Qs Al kaafirun 

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.                                                                 
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku".

   Qs Al Kautsar

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak.   Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.          

QsAtTakaatsur
 Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
 sampai kamu masuk ke dalam kubur.
 Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),        dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
 niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
 kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang     kamu megah-megahkan di dunia itu). 

            Dengan mencermati ayat demi ayat dari surat-surat pendek Al Qur’an yang ditampilkan di atas, nampak jelas sekali bahwa kata-kata itu dari Alloh Swt. ( atau dengan perantaraan pesuruhNya ) yang ditujukan kepada manusia. Sementara kebiasaan kita sehari-hari mengucapkan atau membacanya secara utuh kata-kata tersebut yang ditujukan kepada yang kita hadapi yaitu Alloh Swt. sebagaimana diterangkan di atas ( hadits dari Anas ) yang menerangkan bahwa orang yang sedang shalat itu berarti sedang berkata-kata kepada Tuhannya. Karena itu membaca Al Qur’an secara utuh waktu shalat dengan sirr, itu sama saja dengan mengembalikan suruhan, peringatan, dan petunjukNya kepada Alloh sendiri. Semantara keterangan-keterangan yang sifatnya mengajarkan membaca surat-surat Al Qur’an pada shalat sirr tersebut kurang begitu meyakinkan.
Selain dari pada itu, jika kita membaca surat-surat Al Qur’an tersebut waktu shalat sirr, itu bertentangan dengan keterangan pada hadits yang memuat firman Alloh bahwa,”…….shalat dibagi antara Aku ( Alloh ) dan hambaKu menjadi dua bagian…..” ( lihat keterangan 1 ) karena jika kita membaca Al Qur’an secara utuh itu bukan pujian, atau sanjungan untuk Alloh dan bukan pula do’a hamba kepada Alloh untuk hamba itu sendiri. 
Sudah dikatakan di atas bahwa Rosululloh Saw banyak mencontohkan pada shalat jahr ( dikeraskan ) membaca surat-surat Al Qur’an, padahal di atas dikatakan bahwa itu bertentangan dengan keterangan hadits di atas. Namun demikian hal itu masih bias dipahami mengingat beliau adalah seorang utusan , seorang rosul, seorang pesuruh Alloh yang mempunyai tugas menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada umatnya. Maka bisa jadi Rosululloh Saw. membacakan ayat-ayat tersebut ditujukan untuk didengarkan ma’mum. Karena dipandang akan sangat berkesan pada ingatan ma’mum mengingat pada saat shalat ma,mum akan dengan khidmat mendengarkannya.
Pemahaman ini diambil dari isyarat hadits-hadits berikut ;

Riwayat bagi Ahmad dan Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban,” Barangkali kamu membaca di belakang imam kamu ? ” Kami jawab,” betul “. Maka sabdanya, “ Jangan kamu berbuat melainkan Fatihatul Kitab karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya “.

Rosululloh Saw bersabda,” Sesungguhnya imam itu dijadikan hanya untuk diikuti. Oleh karena itu, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah dan apabila ia membaca qira’at ( Al Qur’an ) maka dengarkanlah “. ( Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu Uwanah dan Ar Rubani ).

Rosululloh Saw. bersabda, “ Barang siapa yang mempunyai imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya “. ( Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi dan Ahmad ).

              Sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa yang dimaksudkan dengan Al Qur’an adalah dari mulai surat Al Baqarah sampai akhir Al Qur’an atau surat An Naas, sementara Al Fatihah adalah Fatihatul Kitab ( pembukaan kitab ), atau Ummul Qur’an ( Induknya Al Qur’an ), atau As Sab’ul Matsaani ( tujuh ayat yang diulang-ulang ). Jadi ketika imam membaca Al Qur’an maka dengarkanlah karena bacaan itu untuk ma’mum, buat ma’mum, kepada ma’mum, bukan ditujukan kepada Alloh Swt. Bacaan lain selain Al Qur’an yang dibaca dengan sirr dan Al Fatihah itu ditujukan kepada Alloh dan itu harus dibaca sendiri-sendiri, bacaan inilah bacaan shalat yang dimaksud pada hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa shalat itu dibagi dua antara Alloh Swt dan hambaNya ( lihat keterangan 1 ). Jadi bacaan Al Qur’an dalam shalat adalah bacaan tambahan untuk kepentingan da’wah, dengan kata lain bahwa diwaktu shalat itu Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an tersebut untuk memberikan pelajaran, memberikan petunjuk, memberikan peringatan, memberikan perintah dengan ayat-ayat Alloh Swt. kepada ma’mumnya atau kepada umat di sekitarnya.
              Setelah dipahami bahwa Rosululloh Saw. atau imam membaca surat-surat Al Qur’an itu ditujukan atau disampaikan kepada ma’mum dan umat, maka hadits Ibnu Abbas ra yang menyebutkan tidak membaca Al Qur’an dalam shalat sirr dan tidak ada bacaan Al Qur’an pada shalat Zhuhur dan Ashar nampaknya lebih rasional dibandingkan dengan keterangan lain yang bertentangan dengannya, karena tidak mungkin menyampaikan atau mengajarkan ayat-ayat kepada ma’mum atau umat dengan cara sirr.
Untuk memperkuat atau memperjelas pendapat atau keterangan tersebut kita lihat hadits-hadits berikut :

Apabila beliau membaca Qira’at di rumah maka orang yang berada di dalam kamar dapat mendengar Qira’atnya itu. ( Abu Daud dan At Tirmidzi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan pula begini :
 
Bahkan barangkali beliau mengangkat suaranya lebih dari pada itu sehingga orang yang berada di luar kamar dapat mendengarnya. ( An Nasa’I dan At Tirmidzi dan Al Baihaqi dengan sanad yang hasan ).

Diriwayatkan begini :

Pada suatu malam beliau keluar, tiba-tiba beliau mendapatkan Abu Bakar tengah shalat dengan merendahkan suaranya, dan beliau melewati Umar bin Khattab ra tengah melakukan shalat dengan mengangkat suaranya. Kemudian tatkala mereka berdua berkumpul pada Nabi Saw, bersbdalah beliau, “ Wahai Abu Bakar, aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau merendahkan suaramu ?” ( Abu Bakar ) berkata “ Aku tengah memperdengarkan kepeda yang aku bisikkan wahai Rosululloh “. Kemudian beliau bersabda kepada Umar,” Aku telah melewati engkau ketika engkau shalat, ( mengapa ) engkau mengeraskan suaramu ?” Umar brkata, “ Wahai Rosululloh, aku membangunkan orang yang mengantuk dan mengusir setan”. Kemudian Nabi Saw. bersabda,” wahai Abu Bakar angkat suaramu sedikit”. Kemudian bersabda kepada Umar, “ Rendahkan sedikit suaramu “. ( Abu Daud dan Hakim dishahihkan oleh Adz Dzahabi ).

Pada riwayat di atas nampak Rosululloh Saw. tidak menyetujui alasan kedua orang tersebut. Padahal jika bacaan Al Qur’an itu ditujukan kepada Alloh atau ditujukan untuk diri sendiri maka Rosululloh Saw tidak akan menyuruh Abu Bakar untuk mengeraskan suaranya sedikit lebih tinggi, bahkan lebih rendahpun Alloh akan mendengarnya. Ada kemungkinan Rosululloh Saw menyuruh Abu Bakar mengeraskan suara bacaannya sedikit dan menyuruh Umar menurunkannya sedikit dimaksudkan agar bacaan Al Qur’an tersebut terdengar dengan suara yang sedang sehingga enak didengar dan akan sangat berkesan jika didengar oleh orang lain yang tidak sedang tidur atau sedang terjaga, sehingga menambah kecintaan orang yang mendengar tersebut terhadap ajaran Al Qur’an . Wallohu a’lam.
Larangan membaca Al Qur’an waktu shalat sirr tersebut tercantum juga dalam Al Qur’an itu sendiri yakni pada Qs Al Israa : 110
   

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu"

            Kalimat”… dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu " menurut para ahli tafsir maksudnya adalah Allah memerintahkan kepada Rasul agar di waktu salat jangan membaca ayat dengan suara keras dan jangan pula dengan suara yang rendah tapi di antara keduanya. Dimaksud dengan membaca ayat ini mencakup membaca Basmalah dan ayat lainnya. Jika rasul membaca dengan suara yang nyaring tentulah didengar oleh orang musyrikin dan mereka lalu mengejek, mengecam dan memaki-maki Alquran, Nabi dan sahabat-sahabatnya. Namun ditegur pula agar jangan terlalu rendah suaranya dalam membaca ayat Alquran sehingga sahabatnya tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Larangan ini ketika Rasul masih berada di Mekah berdasar riwayat Ibnu Abbas. Menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasul ketika di Mekah disuruh membaca dengan suara yang sedang, dilarang membaca dengan suara yang nyaring dan rendah sehingga tidak terdengar. Tetapi sesudah hijrah ke Madinah persoalan itu tidak ada lagi kecuali membaca ayat dalam salat dengan suara yang keras di luar batas yang diperlakukan, maka yang semacam ini tetap tidak dibenarkan. Akan tetapi tidak dimasalahkan bukan berarti menjadi boleh membaca Al Qur’an dengan suara rendah hingga tak terdengar, sebab ayat Qs Al Israa : 110 tidak berubah dan tetap berlaku.
Dengan tidak disebutkannya di shalat yang mana atau di shalat apa yang dimaksud, maka ini berarti ditujukan secara umum atau di seluruh shalat. Dengnan demikian jelas bahwa kita tidak boleh membaca Al Qur’an ( secara  utuh ) waktu shalat sirr.
Jadi nampaknya bacaan Al Qur’an dari orang shalat itu bukan ditujukan kepada Alloh Swt. dan bukan pula untuk mengusir setan, akan tetapi untuk memberikan pelajaran, peringatan, dan petunjuk kepada manusia di sekitarnya, termasuk ma’mum dan diri sendiri sehingga bertambah-tambah imannya. Wallohu a’lam. Bahkan diriwayatkan bahwa Rosululloh Saw pernah membaca ayat Al Qur’an dengan jahr ( dikeraskan ) pada shalat Zhuhur dan Ashar ( lihat keterangan 5 b dan penjelasannya ), walaupun banyak pula diriwayatkan bahwa beliau shalat Zhuhur dan Ashar secara sirr. Dari keterangan- keterangan ini dapat dipahami bahwa Rosululloh Saw apabila dalam shalatnya hendak membacakan Al Qur’an maka bacaan Al Qur’annya beliau keraskan, dan apabila beliau dalam shalatnya hanya memohonkan do’a, memuji dan menyanjungNya, maka beliau shalat dengan sirr.
Rosululloh Saw nampaknya pernah mangisyaratkan bahwa Al Qur’an tidak pantas untuk dibaca ma’mum dalam shalat sirr, lihat hadits-hadits berikut ini:

Beliau shalat Zhuhur bersama para sahabatnya, lalu beliau bersabda, “ Siapa di antara kamu yang membaca Sabbihisma Robbika’l  A’la…. ?” Seorang laki-laki berkata, “ Aku, dan aku hanya menginginkan kebaikan dengan bacaan itu”. Maka beliau bersabda,” Aku telah mengetahui bahwa seorang laki-laki telah mambimbangkan pikiranku dengan bacaan itu “. ( HR Muslim, Abu ‘Uwanah, dan As Siraj ).

Rarosululloh Saw, nampak menebak ada makmum dg  sirr membaca Sabbihisma robbika’l A’la, maka bagaimana tidak bimbang pikiran Rosululloh Saw, karena seharusnya beliaulah sebagai imam yang memberikan pelajaran dan peringatan dengan Al Qur’an tersebut, akan tetapi beliau tidak hendak membaca Al Qur’an tapi justru malah ma’mum yang membaca Al Qur’an dengan membaca Sabbihisma robbika’l A’la…. “ yang artinya” Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,” , ini adalah kalimat perintah yang entah kepada siapa ia tujukan.
Di riwayat lain Rosululloh Saw. pernah bersabda sebagai berikut:

“ sesungguhnya orang yang sedang shalat itu sedang berbisik-bisik dengan Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah ia memperhatikan apa yang dibisikkannya itu kepadaNya, dan janganlah sebagian kamu mengeraskan bacaan-bacaan Al Qur’an atas sebagian lainnya.” ( Malik dan Bukhari dengan sanad yang shahih ).

Jika seseorang berbisik-bisik dengan shalatnya dengan membaca “ Sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi” dengan bisikan yang ditujukan kepada Alloh ( shalat ), apakah itu pantas ?, tentu saja tidak. Bacaan itu lebih pantas jika dibaca secara jahr untuk ditujukan kepada orang lain. ( Oleh imam kepada ma’mum ).
Jika semua pemahaman di atas itu benar maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada shalat sirr baik sendiri maupun berjamaah tidak boleh membaca surat Al Qur’an. Atau apabila hendak membaca Al Qur’an maka surat atau ayatnya dipilih yang memiliki kandungan yang bersifat pujian atau do’a atau permohonan perlindungan kepada Alloh. Bahkan nampaknya diperbolehkan berdo’a dan berlindung kepada Alloh Swt. dengan redaksi sendiri, mengingat hal demikian pernah dilakukan Rosululloh Saw. sebagai rujukan lihat keterangan 1 dan 5 a.
Semua surat Al Qur’an merupakan kata-kata atau firman yang bersifat peringatan, pelajaran, perintah, atau petunjuk dari Alloh kepada manusia, sehingga jika dibaca satu surat utuh tidak ada satu suratpun yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh Swt. Namun demikian, sebenarnya ada surat-surat yang bersifat perintah kepada manusia agar manusia berlindung atau memuji kepadaNya, akan tetapi kebiasaan kita sehari-hari selalu membaca surat-surat tersebut secara utuh sehingga akhirnya kita hanya menirukan perintah Alloh Swt dan tidak pernah melaksanakan perintahNya. Adapula ayat-ayat yang menceritakan bagai mana umat atau para nabi terdahulu berdo’a kepada Tuhannya.
Kita lihat surat-surat Al Qur’an yang memerintahkan atau menganjurkan agar manusia berlindung dan memuji kepadaNya :

Qs Al Falaq 
                                                                      
Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,    
dari kejahatan makhluk-Nya, 
dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki".

Qs An Naas

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.      .                                                                    
Raja manusia.
Sembahan manusia.
dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
dari (golongan) jin dan manusia.

Qs Al Ikhlas

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Pada ayat pertama kedua surat tersebut di atas terdapat kalimat “ Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan…… ”, jika kita amati kalimat tersebut terdiri dari dua bagian yaitu kata “ Katakanlah “ adalah sebuah kata perintah dari Alloh Swt. yang ditujukan kepada manusia. Kemudian bagian lainnya adalah kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan…..” itu adalah kata-kata manusia yang ditujukan kepada Alloh Swt, hanya saja redaksinya dari Alloh Swt. agar manusia berdo’a memohon perlindungan kepadaNya.
Jika dalam shalatnya orang membaca “ Katakanlah…” maka jelas sekali bahwa orang yang mengatakan kata tersebut memerintah kepada siapa yang dihadapinya ( Alloh Swt ), ini merupakan hal yang tidak bisa diterima kebenarannya secara akal pikiran. Karena itu jika ingin membaca surat tersebut di waktu shalat sirr adalah kata-kata yang pantas diucapkan manusia kepada Alloh Swt yakni kalimat “ Aku berlindung kepada Tuhan….” Karena demikianlah kedudukannya orang yang sedang shalat sirr. Kita lihat hadits berikut :

Beliau bersabda kepada ‘Uqbah bin Amir ra, “ Baca di dalam shalatmu dua surat yang memakai A’udzu. Tidak ada orang yang membaca A’udzu selain dua surat itu ( Al Falaq dan An Naas ). HR Abu Daud dan Ahmad dengan sanad yang shahih.

Dengan sabda tersebut di atas nampaknya Rosululloh Saw. hendak menjelaskan bahwa bacaan Al Qur’an yang cocok untuk dibaca dalam shalat yang sesuai dengan situasi dan kondisi ‘Uqbah bin Amir ra waktu itu ( tidak berma’mum kepada Rosolulloh Saw. disaat shalat jahr ) adalah surat Al Falaq dan An Naas dengan dimulai dari kata “A’udzu …” bukan “ Qul A’udzu…”.
Lain halnya dengan Imam yang membacanya dengan jahr. Karena bacaan imam adalah bacaan bagi ma’mum, jadi kata “ Katakanlah ..” itu ditujukan kepada ma’mum bukan kepada Alloh Swt. Wallohu a’lam.
Sebagai tambahan untuk memperlihatkan  ayat Al Qur’an yang mana yang pantas dibaca untuk ditujukan kepada Alloh, kita lihat hadits di bawah ini :

Pada suatu malam beliau melaksanakan shalat malam dengan membaca suatu ayat yang diulang-ulang hingga datang waktu shubuh yaitu ayat :

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.( Qs Al Maidah: 118 ).

Beliau ruku’dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya. Tatkala datang waktu shubuh, berkatalah Abu Dzarr ra kepada beliau, “ Wahai Rosululloh Saw, masih saja engkau membaca ayat ini hingga engkau menemia waktu shubuh. Engkau ruku’ dengannya, sujud dengannya dan berdo’a dengannya sedangkan Alloh Swt telah mengajarkan Al Qur’an kepadamu seluruhnya. Sekiranya sebagian kita mengerjakan hal ini, niscaya kita akan mendapatkannya.
Beliau bersabda,” Sesungguhnya aku telah memohon shafa’at kepada Tuhanku untuk umatku. Maka dia memberikannya kepadaku dan insya Alloh ia akan diterima oleh orang yang tidak mensekutukan Alloh dengan sesuatu. ( An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Ibnu Nashr dan Al Hakim serta dishahihkan dan disepakati oleh Adz Zahabi ).
demikian,  Wallohu 'alam