Translate

Sunday 22 September 2013

Religiusitas Berkorelasi Negatif terhadap Kecerdasan

KOMPAS.com — Benarkah orang religius punya kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan dengan orang ateis?

Jawaban pertanyaan tersebut mungkin akan menyakitkan hati beberapa pihak. Namun, studi terbaru yang dipublikasikan di Personality and Social Psychology Review menunjukkan bahwa rata-rata orang yang religius memiliki kecerdasan yang lebih rendah.

          Apa maksudnya membandingkan kecerdasan orang beragama dengan orang atheis ?, apakah harus meninggalkan agama agar orang menjadi lebih cerdas ?, kan bahaya jika maksudnya demikian. Membandingkan kecerdasan bisa diterapkan di berbagai status sosial. Coba bandingkan kecerdasan antara orang perkotaan dengan orang pedesaan. Coba bandingkan kecerdasan rata-rata orang kaya dengan orang miskin. Padahal  inti jawabannya akan diketahui jika membandingkan kecerdasan orang yang belajar dengan orang yang tidak belajar. Jadi intinya orang yang mengolah atau melatih otaknya dengan benar akan memiliki kecerdasan yang lebih baik dari pada yang tidak mengolahnya atau melatihnya. Coba bandingkan kecerdasan rata-rata orang Indonesia dengan orang Jepang, apa sebabnya orang Jepang lebih cerdas ( dengan melihat tingkat kemajuan teknologinya ) ?  Karena sistem, teknik, materi, sarana pendidikan orang indonesia masih buruk. UN saja jadi perdebatan antara guru dan pemerintah. UN itu niat baik yang berdampak buruk, masalahnya pemerintah hanya berharap Indonesi memiliki standar nilai yang seragam di seluruh Indonesi tapi pemerintah tidak berupaya serius menstandardkan teknik atau metoda, materi, sarana dan prasarana dan guru secara nasional. Maka akhirnya penyelesaian UN siswa banyak yang ditempuh dengan cara-cara yang tidak semestinya dan cenderung menghalalkan segala cara. jangan-jangan ada juga yang sampai datang ke Eyang subur untuk dido'akan agar lulus UN.
          Mengenai mata pelajaran UN saya kira sudah benar dan logis sehingga pantas pemerintah merasa bahwa itu sudah benar. Tapi konsep, teknik, materi, sarana dan guru untuk mencapai itu tidak atau belum cocok, nya lieur atuh. Jika saja UN dilaksanakan dengan jujur oleh setiap sekolah, jika kemudian mayoritas siswa mendapatkan nilai buruk, maka yang tidak lulus seharusnya bukan siswa, karena yang salah bisa sekolah atau bisa juga system atau pemerintah.
        Kiranya tahapan yang benar adalah standardisasi sistem, materi, teknik, sarana dan prasarana pendidikan, serta guru, lalu UN bisa dilaksanakan untuk menguji atau evaluasi standardisasi setiap sekolah, bukan untuk menguji kelulusan siswa.
         Hal ini sangat penting mengingat banyaknya lembaga pendidikan yang berpotensi mengarahkan siswa menjadi sulit untuk bisa memiliki kecerdasan yang bagus sebagaimana hasil penelitian tersebut di atas. ( mohon maaf, terutama lembaga pendidikan berlebel Islami ), bahkan 5 tahun yang lalu saya pernah menyatakan tidak setuju terhadap salah satu program belajar sekolah anak saya ( SDIT ) karena analisa saya sama dengan hasil penelitian tersebut di atas.
            Saya pernah mengkaji seluk beluk otak manusia ketika mengkaji tentang mimpi, jadi hasil penelitian tersebut tidak aneh, memang kecenderungannya begitu. Buktinya, sekian banyak orang mengikuti agama sesat yang tidak rasional dalam pemahamannya. Sekian banyak orang tidak bisa menerima pendapat orang yang rasional dalam pemahamannya sebelum dibenarkan oleh gurunya, sekian banyak orang begitu mudahnya meyakini pendapat orang yang dianggap ahli tanpa dikaji ulang, dll .
         Saya berpendapat bahwa system pendidikan yang salah, bisa saja malah menghambat laju pertumbuhan kecerdasan dari para siswa yang sebenarnya berpotensi memiliki kecerdadasan tinggi, saya coba telusuri dari apa yang saya pribadi alami ketika sekolah dulu hingga saya menempuh jenjang S3 ( SD, SMP, dan STM.... he he, intermezzo ), pendidikan kita memang ada kecenderungan seperti itu, wallohu'alam.

No comments: